Fatwa Itu Buah Kajian Tuan, Bukan Igauan Rasian
VALORAnews - Ulama Sumatera Barat, Gusrizal Gazahar menukilkan tahapan lahirnya sebuah fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Walaupun dibahas secara umum, mantan dosen di IAIN Imam Bonjol yang melansir tulisannya itu di media sosial facebook, agaknya tak bisa lepas dari kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI non aktif, Basuki Tjahaya Purnama alias ahok yang menyitir Surat Al Maidah ayat 51 dalam pidatonya di hadapan warga Kepulauan Seribu.
Kisruh ini kemudian berlanjut hingga didatangkannya dua orang ahli oleh tim Ahok, seorang dari ulama Al Azhar, Kairo, Mesir, Syekh Amr Wardani dan dari Indoneia, Guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof Sarlito Wirawan Sarwo sebagai saksi meringankan. Namun, keduanya batal memberikan keterangan sebagai saksi ahli, karena Syekh Amr Wardani 'dipaksa' balik ke Mesir dan Prof Sarlito meninggal dunia.
Berikut nukilan pria yang juga menjabat Ketua MUI Sumbar itu;
Secara sederhana, ada empat langkah yang harus ditempuh dalam melahirkan fatwa (berfatwa/ifta').
Baca juga: 31 Ormas di Sumbar Suarakan Penolakan Politik Uang, Buya Gusrizal: Haram bagi Pemberi dan Penerima
Pertama adalah al-tashawwur yaitu pendeskripsian atau penggambaran masalah secara utuh agar jangan keliru dalam meletakkan hukum. Kesalahan dalam menggambarkan masalah bisa berakibat tersalahnya seorang mufti atau pemeberi fatwa dalam memutuskan hukum. Ini lah yang dimaksud dengan ungkapan ulama: "Hukum adalah cabang dari pendeskripsiannya".
Untuk ini, para mufti maupun mujtahid tidaklah terlarang untuk mempergunakan keterangan pakar yang bisa "dipercaya" agar persoalan yang akan difatwakan menjadi terang benderang.
Kedua adalah al-Takyiif yaitu merekonstruksikan untuk penempatan kasus pada bab yang tepat dalam pembahasan fiqh supaya jangan salah pasang. Kekeliruan dalam hal ini bisa berakibat fatal. Bisa saja persoalan aqidah dimasukkan dalam bab mu'amalah atau persoalan mu'amalah termasukkan dalam bab ibadah. Bisa juga perkara darurat diposisikan dalam masalah ikhtiyar.
Ketiga adalah penjelasan dalil-dalil. Ini dilakukan minimal dengan tiga langkah pula yaitu: jam'u al-adillah yaitu penghimpunan seluruh dalil semaksimal kemampuan seorang mufti. Kemudian tahaqquq al-adillah melakukan verifikasi atau pemeriksaan terhadap dalil sehingga diketahui mana yang bisa menjadi hujjah dan mana yang tidak.
Baca juga: Buya Gusrizal Gazahar Pesankan Pentingnya Kerja Kolaboratif ke Ketua DPRD Sumbar
Selanjutnya adalah tahqiq al-adillah atau tatbiq al-adillah yaitu penerapan dalil kepada kasus yang akan difatwakan dengan memaksimalkan petunjuk dalil baik dalam dari sisi juziyyat maupun kulliyyat persoalan tersebut. Semua itu meliputi pemahaman terhadap petunjuk nash dan tujuan syari'ah, sehingga satu persoalan bisa dilihat dengan sleuruh dalil yang terkait. Ini semua tentu apabila persoalan itu bukan sesuatu yang telah ada nashnya secara pasti seperti masalah-masalah yang telah menjadi pengetahuan umum dan mendasar.
Penulis:
Editor: Devan Alvaro
Sumber:
Berita Terkait
- PKD 2024 Berakhir, Audy Joinaldy: Promosi Budaya Diperlukan, Komunitas Seniman Butuh Dukungan Finansial
- Irsyad Safar: Event PKD Bisa Pengaruhi Gerakan Pelestarian Kebudayaan
- Pemprov Sumbar Pastikan Telah Libatkan Sanggar Darak Badarak di Belasan Kegiatan, Luhur: Dilakukan Profesional
- Ketika Seniman Pemberontak Dirangkul Pemerintahan Mahyeldi-Audy
- Dinobatkan jadi Ketua Matra Sumbar, Audy Joinaldy Dianugerahi Gelar Kanjeng Pangeran Aryo Suryo Negoro