I.REST Gelar Refleksi 20 Tahun Reformasi 1998 di Sumbar: Mahasiswa Milenial Hadapi Musuh Abstrak

Senin, 21 Mei 2018, 15:46 WIB | Wisata | Provinsi Sumatera Barat
I.REST Gelar Refleksi 20 Tahun Reformasi 1998 di Sumbar: Mahasiswa Milenial Hadapi Musuh...
Dosen Ilmu Sejarah FIB Unand, Hary Efendi Iskand dan Musaddiqi (aktivis milenial, ketua Poros Rakyat) dengan moderator Sri Novryanti, saat jadi pembicara pada forum diskusi yang digelar International Relation Epistemic Society (I.REST) bertemakan "Reforma

VALORAnews - Tantangan pergerakan mahasiswa era milenial, menghadapi 'musuh' abstrak. Yakni kemiskinan, keadilan ekonomi dan kepastian hukum yang masih tajam kebawah. Selain itu, pergerakan mahasiswa era kini, juga dihadang citra yang dianggap sudah tak otentik lagi oleh publik.

Hal ini berbeda dengan suasana pergerakan mahasiswa 1998, yang mempunyai satu musuh bersama. Padahal, mahasiswa hari ini merupakan kelompok warga negara negara yang akan berada dalam kondisi bonus demografi, yang puncaknya akan dialami Indonesia pada 2030 mendatang.

Demikian benang merah forum diskusi yang digelar International Relation Epistemic Society (I.REST) bertemakan "Reformasi di Indonesia Sebuah Refleksi" di Sikola Cafe, Ahad (20/5/2018) sore. Diskusi yang dipandu Sri Novryanti ini menghadirkan aktivis 1998 Sumbar yang kini dosen Ilmu Sejarah FIB Unand, Hary Efendi Iskand dan Musaddiqi (aktivis milenial, ketua Poros Rakyat).

Diskusi ini digelar dalam rangka refleksi 20 tahun perjalanan reformasi yang klimaksnya terjadi 21 Mei 1998, ditandai dengan mundurnya Suharto sebagai presiden, setelah mendapat tekanan dari aksi mahasiswa sejak 18 Mei 1998. Saat itu, mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR-MPR RI.

Baca juga: Ini 8 Desakan Masyarakat Sipil, Mahasiswa dan Dosen Sumatera Barat

"Pergerakan mahasiswa dalam era kekinian itu, seharusnya tetap dalam konteks bernegara. Untuk itu, mahasiswa harus jeli melihat persoalan negara-bangsa saat ini. Jangan terjebak dalam persoalan di antara elit kelompok yang ada," terang Hary Efendi dalam diskusi yang dihadiri sejumlah aktivis mahasiswa lintas perguruan tinggi itu.

"Harusnya, mahasiswa bergerak dipersoalan yang melibatkan rakyat dengan negara-bangsa. Namun, saat ini mahasiswa terkesan takut untuk bersuara. Ketakutan ini, tak bisa dilepaskan dari pemilihan presiden 2015 yang hanya melahirkan dua kubu. Jika aspirasi yang disampaikan mahasiswa bersifat oposisi dengan pemerintahan, langsung dicap dari kelompok seberang," tambah Hary.

"Seharusnya, mahasiswa tak perlu memikirkan stigma yang dilempar ke ruang publik. Sepanjang isu yang disuarakan itu adalah persoalan rakyat dengan negara-bangsa, maka mahasiswa harus terus bersuara. Jika ada yang diuntungkan atau dirugikan dengan pergerakan mahasiswa ini, sebetulnya hal itu sesuatu yang tak bisa dielakan," tukas Hary yang tengah menempuh program doktoral di Unpad, Bandung itu.

Masih belum jelinya mahasiswa milineal menangkap persoalan negara-bangsa, tambah akademisi FISIP Unand, Virtous Setyaka yang ikut dalam diskusi itu, tak lepas dari makin 'tak jelasnya' pengkaderan organisasi kemahasiswaan, baik itu di level intra maupun ekstra kampus.

Baca juga: Tamsil Kusut Sarang Tempua Disampaikan Civitas Akademika Unand di Manifesto Penyelamatan Bangsa

"Mahasiswa sekarang, lebih memilih beraktivitas dalam komunitas. Tidak lagi dalam kelompok-kelompok ideologi yang ada di organisasi ekstra kampus," nilai Virtous, tentang faktor penyebab makin tak kritisnya kelompok mahasiswa dalam menyikapi persoalan negara-bangsa.

Halaman:

Penulis:
Editor: Devan Alvaro
Sumber:

Bagikan: