Dua DAS Alami Pendangkalan: Kaji Ulang Standar Teknis Debit Air PLTA Koto Panjang
VALORAnews - Bencana alam banjir dan longsor karena curah hujan tinggi di Kabupaten Limapuluh Kota, setidaknya membuka mata semua pihak, terutama pemerintah dan masyarakat. Dibutuhkan langkah dan penanganan serius secara jangka panjang, guna menekan kerugian dampak bencana secara berulang.
"Bencana kemarin membuat kita terhentak. Kita tahu, secara geografis alam Limapuluh Kota sangat labil. Banjir dan longsor kini jadi bencana tahunan. Perlu dicatat, tahun (2016) lalu, daerah ini dilanda bencana serupa," kata Wakil Bupati, Ferizal Ridwan, ketika diwawancara di kantor bupati, kawasan Sarilamak, Senin (13/3/2017).
Ia memaparkan hasil tinjauannya ke sejumlah titik bencana di Kecamatan Pangkalan-Kapur IX, sepanjang Jumat hingga Sabtu (10-11/3/2017). Di sela mendistribusikan bantuan logistik ke Galugua, salah satu nagari terjauh di bagian barat Limapuluh Kota, Ferizal menyebut dirinya sempat memeriksa kondisi dua daerah aliran sungai (DAS), yang mengairi kawasan terdampak bencana.
Dua aliran sungai, Batang Maek serta Batang Kapur di Pangkalan dan Kapur IX, kini terus mengalami pendangkalan dan penyempitan. Aliran air pada dua sungai itu tidak lagi normal, karena tertimbun material pasir dan batu. Ini menyebabkan debit air meluap, ketika intensitas hujan mendominasi kawasan hulu sungai.
Baca juga: Simalakama Pintu Air Bendungan Koto Panjang; Ditutup, Pangkalan Banjir, Dibuka, Kampar yang Terendam
Batang Kapur yang bermuara ke Kabupaten Kampar, Riau, katanya, mengalami pendangkalan terparah. "Sejak lima tahun terakhir, mulai dari Nagari Sialang ke Durian Tinggi, Batang Kapur mendangkal, 1-1,5 meter dari dasar aslinya. Ribuan kubik material, menutup badan sungai," sebutnya.
Sehingga wajar, kata Ferizal, dua nagari di Kapur IX yakni Sialang dan Durian Tinggi, terendam banjir, Jumat (3/3/2017) dinihari lalu. Begitu pula, aliran Batang Maek, yang mengairi dua nagari di Kapur IX serta dua nagari di Pangkalan Koto Baru. Kondisi DAS Batang Maek menyempit di bagian hulu, membuat air meluap ke lahan warga.
Pendangkalan yang sama, katanya, tidak tertutup kemungkinan juga terjadi pada waduk PLTA Koto Panjang. Oleh sebab itu, perlu dikaji kembali secara teknis penetapan standar debit air di PLTA. "Sejak dua tahun belakangan, sudah tak terhitung material dibawa arus sungai ke sana (PLTA). Makanya harus dievaluasi, dinormalisasi melaui pengerukan," tuturnya.
Ferizal menghitung, berdasarkan data kerusakan di lapangan, pembenahan melalui normalisasi Batang Maek dan Batang Kapur diperkirakan membutuhkan biaya Rp460 miliar. Jumlah itu, katanya, sudah termasuk jalan serta fasilitas umum yang rusak akibat banjir.
Baca juga: Mahyeldi: Jalan Nasional di Pangkalan Butuh Perbaikan Cepat
Terhadap longsor, Ferizal juga tidak menampik disebabkan aktivitas tambang galian C, yang konon memakai teknis peledakan. Seperti longsor badan jalan yang menimbun kendaraan pada akses Sumbar-Riau di Koto Alam. Hanya saja, pemkab terkendala soal kewenangan, karena perizinannya kini beralih ke provinsi dan pusat.
Penulis:
Editor:
Sumber:
Berita Terkait
- Wakanda Taram; Potret Objek Wisata Berbasis CBT di Sumatera Barat, Beromset Rp2 Miliar per Tahun
- Supardi; Nagari Maek Potensi jadi Destinasi Wisata Minat Khusus
- Festival Maek Hadirkan Peneliti Asing, Supardi: Kabut Peradaban Megalitik Maek harus Disibak
- Bukit dengan Tebing Berlubang, Hanya Ada Dua di Dunia, Nagari Maek dan Tianmen
- Gubernur Sumbar Minta Wali Nagari Gunung Malintang Buat Laporan Detail Alek Bakajang, Ini Sebabnya