Kemandirian Politik Seiring Kesehatan Keuangan Parpol
VALORAnews - Menciptakan politik yang mandiri, kemandirian partai politik jadi isu penting di dalamnya. Di luar keterbatasan struktural, di tengah iklim demokrasi yang mahal, keterbatasan finansial telah jadi salah satu faktor penting kegagalan partai politik menjalankan fungsinya sebagai perantara kepentingan publik.
"Itu sebabnya, demi kemandirian partai politik, soal bantuan keuangan negara perlu dibahas dengan perspektif yang lebih maju," ungkap Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon pada Dialog Kejayaan Bangsa dengan tema 'Membangun Kemandirian Politik Menuju Indonesia Bermartabat' dalam rangkaian Temu Alumni dan Kongres V Ikatan Keluarga Alumni Universitas Andalas (Unand), di Padang, Rabu (14/9/2016).
Dijelaskan Fadli pada dialog yang dipandu dosen FIB, Hary Efendi Iskandar itu, dana bantuan keuangan partai politik yang diberikan pemerintah saat ini berada pada angka Rp108 per suara yang diraih pada pemilu. Layaknya, menurut Fadli, bantuan tersebut berjumlah Rp5 ribu per suara.
"Kalau bantuan yang diberikan Rp 5.000 per suara, maka partai politik akan mempunyai dana yang cukup dan masuk akal untuk menggerakan roda organisasinya," tegas Fadli yang juga wakil ketua DPR RI itu.
"Selama ini, partai politik juga tidak boleh berbisnis, sementara harus terus membiayai kegiatan hingga menggaji pegawai. Ini terjadi pada semua partai. Hal inilah yang membuat partai politik dapat dipengaruhi cukong bermodal besar. Akibatnya, parpol sebagai wahana untuk memperjuangkan kepentingan publik jadi makin jauh," terangnya.
Menurut Fadli, menciptakan politik yang mandiri, perlu hadir partai politik yang juga mandiri secara finansial, karena keterbatasan finansial menjadi salah satu penyebab kegagalan partai politik. "Karena itu, mari bersikap rasional kalau ingin partai politik tidak melakukan hal yang menyimpang perlu anggaran yang cukup guna menjalankan kegiatan," katanya.
Sementara, Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2013, Mahfud MD mengemukakan, rakyat di Indonesia berdaulat hanya selama lima menit, yaitu ketika mencoblos pada pemilihan umum sekali dalam lima tahun. Ini mengacu pada banyak pendapat yang menyatakan Indonesia sekarang ini pemerintahannya lebih cenderung dari rakyat oleh elit untuk elit.
"Rakyat hanya menikmati hak politiknya 5 menit saat mencoblos, sisanya sebanyak 2.570.395 menit dinikmati oleh elit. Bisa juga dikatakan rakyat hanya menggunakan hak politiknya seperempat hari dari 1.785 hari satu periode pemerintahan," tukas Mahfud.
Baca juga: OJK dan Menkopolhukam Perkuat Kerjasama Penegakan Hukum di Sektor Jasa Keuangan
Menghitungnya sederhana. Sehari berdurasi 24 jam, 1 jam berdurasi 60 menit, 1 tahun (357 hari) = 514.080 menit, 5 tahun (satu periode pemerintahan)=2.570.400 menit. "Secara teoritis, ada yang menyebut negara kita sudah bergeser jadi negara Oligarki. Ada juga yang menyebut Poliarki seperti dikonsepkan oleh Robert A. Dahl," nilai Mahfud.
Penulis:
Editor: Devan Alvaro
Sumber:
Berita Terkait
- DPR RI: Iven Pariwisata jadi Pemicu Pertumbuhan Ekonomi Sumbar di Lajur Positif Semester I 2023
- Digugat ke PN Jakarta Selatan, BANI Yakin Putusan Majelis Arbiter Kuat
- Kembangkan Potensi Wisata Pulau Bangka, Ini Saran Selebriti Rafi Ahmad
- Ini Nama dan Lokasi 32 Bandara Internasional di Indonesia, Sebagian akan Dipangkas Menteri BUMN
- Masuk Monas Mesti Pakai JakCard, Ini Harga dan Tarif Masuk Januari 2023
Mahmud Marhaba Lantik Pengurus Provinsi dan Daerah PJS se-Gorontalo
Nasional - 12 November 2024
Fadli Zon Raih 2 Rekor MURI, Ini Alasan Jaya Suprana
Nasional - 03 November 2024