Remisi untuk Pembunuh Wartawan Radar Bali Beraroma Grasi
VALORAnews - Pembunuhan berencana terhadap jurnalis, tidak bisa dipandang sebagai kejahatan biasa. Hal ini adalah kejahatan serius, bahkan masuk kategori kejahatan terhadap hak asasi manusia. Karena itu, pemberian grasi dan remisi serta segala bentuk peringanan hukuman terhadap pelaku kejahatan ini, tidak bisa menggunakan perspektif kejahatan biasa, sebagaimana yang termuat dalam KUHP saja.
Dengan demikian, Keppres tentang remisi No 29 Tahun 2018, yang salah satunya diberikan Presiden Joko Widodo kepada Nyoman Susrama, terpidana seumur hidup kasus pembunuhan berencana terhadap Jurnalis Radar Bali, Anak Agung Prabangsa pada 2009, mesti direvisi.
Hal tersebut terungkap dalam Diskusi Publik bertema 'Mempertanyakan Remisi Pembunuh Jurnalis' yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang, Kamis (24/1/2019). Diskusi yang digelar di Kantor AJI Padang tersebut juga sekaligus dalam memperingati ulang tahun ke-14 bagi AJI Padang.
Dalam diskusi yang dipandu Sekretaris AJI Padang, Andika D Khagen tersebut, hadir sebagai pembicara, Charles Simabura dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Unand, Roni Saputra (Pegiat Kemerdekaan Pers) serta Aidil Ichlas (Ketua Bidang Advokasi AJI Padang).
Charles Simabura menyebutkan, pemberian remisi terhadap pembunuh jurnalis, merupakan bentuk ketidakpekaan presiden. "Saya pikir pembunuhan terhadap wartawan Radar Bali, bukanlah pembunuhan yang biasa. Ini merupakan salah satu bentuk pembungkaman terhadap pers, perlawanan terhadap prinsip negara hukum," katanya.
Selain itu, seharusnya presiden sensitif dengan kasus-kasus seperti ini. "Seharusnya dalam debat presiden, isu kebebasan pers juga harus dibahas. Kita menilai, penguasa di negara ini, tidak terlalu peduli dengan kebebasan pers," ujarnya.
Tidak hanya itu, kata Charles ada kemungkinan juga presiden menandatangani Keppres tersebut tanpa dipelajari dulu, atau ada kemungkinan bawahannya tidak memberikan penjelasan terkait hal itu. Seharusnya, staf ataupun menteri memberikan penjelasan.
"Presiden harus menjawab, presiden harus menjelaskan ke publik, atas dasar apa remisi ini diberikan," kata Charles.
Ia mengaku tidak menolak remisi, karena itu hak bagi warga binaan, apakah itu remisi khusus atau umum. Namun, yang menjadi pertanyaan, atas dasar apa remisi ini diberikan oleh presiden. "Presiden harus selektif, karena kejahatan terhadap terhadap pers itu bukanlah kejahatan biasa," terangnya.
"Apa yang terjadi hari ini, kita patut protes, kita memang harus protes, karena ini bagian dari koreksi mempertanyakan komitmen presiden dalam rangka menjamin terwujudnya kebebasan pers, sehingga kita tidak was-was lagi dengan hal itu," ungkapnya.
Diantara polemik yang ada saat ini, kata Charles, masih ada ruang bagi kita untuk koreksi dan membawa ke ranah hukum. "Kita yakin, ini masih bisa dibawa ke ranah hukum, kita bisa menggugat melalui PTUN, saya mendorong kawan-kawan untuk menggugat ke PTUN tentang Keppres 28/2018 ini. Mudah-mudahan PTUN bisa meluruskan praktek-praktek non remisi yang dilakukan berdasarkan Keppres 174 ini," jelasnya.
Penulis:
Editor:
Sumber:
Berita Terkait
- DPR RI: Iven Pariwisata jadi Pemicu Pertumbuhan Ekonomi Sumbar di Lajur Positif Semester I 2023
- Digugat ke PN Jakarta Selatan, BANI Yakin Putusan Majelis Arbiter Kuat
- Kembangkan Potensi Wisata Pulau Bangka, Ini Saran Selebriti Rafi Ahmad
- Ini Nama dan Lokasi 32 Bandara Internasional di Indonesia, Sebagian akan Dipangkas Menteri BUMN
- Masuk Monas Mesti Pakai JakCard, Ini Harga dan Tarif Masuk Januari 2023
Mahmud Marhaba Lantik Pengurus Provinsi dan Daerah PJS se-Gorontalo
Nasional - 12 November 2024
Fadli Zon Raih 2 Rekor MURI, Ini Alasan Jaya Suprana
Nasional - 03 November 2024