RUU Contempt of Court, Integritas: Berangus Pers dan Bentengi Mafia Peradilan
VALORAnews - Ditetapkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan (Contempt Of Court) dalam Prolegnas DPR RI 2014-2019, adalah upaya pengangkangan terhadap hak-hak sipil, terutama kemerdekaan berpendapat. Padahal kemerdekaan berpendapat, adalah hak yang bersusah payah diperjuangkan ketika awal masa reformasi, setelah sekian lama dibungkam pada masa orde baru.
"Meskipun khusus hanya terkait dengan penyelenggaraan peradilan, RUU ini sangat potensial mengkriminalisasi orang dan lembaga yang selama ini fokus melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap lembaga peradilan," ungkap Koordinator Integritas, Arief Paderi dalam siaran persnya, Senin (7/12/2015).
Padahal, terangnya, pemantauan dan pengawasan lembaga peradilan yang dilakukan, adalah bentuk dukungan dari publik untuk perbaikan dari lembaga peradilan itu sendiri. Integritas mencurigai, tambah Arief, RUU ini sebagai upaya terselubung dari pihak-pihak terkait membentengi praktik mafia peradilan yang terjadi.
"Tidak dapat dipungkiri bahwa pengungkapan dari praktik mafia peradilan yang terjadi selama ini, adalah berawal dari hasil pelaporan publik yang melakukan pengawasan dan pemantauan, komentar serta kritik terhadap peradilan," tegasnya.
Baca juga: Nanda Satria Ajak Orang Tua Sekolahkan Anak ke Pendidikan Vokasi Saat Reses di Ujung Pandan
Dikatakan, harusnya DPR sebagai pengusul RUU ini, becermin terhadap kondisi peradilan Indonesia yang masih jauh dari baik dan bersih. Banyaknya hakim yang diadili, terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi, adalah bukti praktik mafia peradilan masih menggurita. Dalam kondisi seperti ini, pemantauan dan pengawasan : komentar dan kritik terhadap peradilan di Indonesia, sangat dibutuhkan sebagai upaya membangun peradilan di Indonesia yang lebih baik dan bersih.
"Berdasarkan draf RUU Contempt of Court, Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan diartikan sebagai setiap perbuatan bersifat intervensi, tindakan, sikap, ucapan, tingkah laku dan/atau publikasi yang bertendensi dapat menghina, merendahkan, terganggunya, dan merongrong kewibawaan, kehormatan dan martabat hakim atau badan peradilan," urai Arief.
Selain itu, RRU ini juga menyasar pers. Dalam Pasal 24, RUU ini, disebutkan "Setiap orang yang mempublikasikan atau memperkenankan untuk dipublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung, atau perkara yang dalam tahap upaya hukum, yang bertendensi dapat mempengaruhi kemerdekaan atau sifat tidak memihak hakim, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar."
Dalam RUU ini, hukuman itu tidak hanya diterapkan kepada wartawannya, tetapi juga kepada badan hukum tempat wartawan tersebut bekerja. Dalam Pasal 50 ayat 1 disebutkan: "Apabila tindak pidana terhadap penyelengaraan peradilan dilakukan oleh, untuk atau atas nama badan usaha, tuntutan dan saksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha dan/atau Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
Baca juga: DW Persatuan Agam Gelar Pertemuan Bulanan di Alam Terbuka, Ini Alasannya
Dari hal di atas, jelas bahwa DPR sebagai pengusul tidak paham mengenai kemerdekaan berpendapat sebagai hak asasi yang paling utama. Hak ini jelas sudah disepakati pada banyak konvensi internasional dan Konstitusi Indonesia, yaitu UUD 1945.
Penulis:
Editor:
Sumber:
Berita Terkait
- PKD 2024 Berakhir, Audy Joinaldy: Promosi Budaya Diperlukan, Komunitas Seniman Butuh Dukungan Finansial
- Irsyad Safar: Event PKD Bisa Pengaruhi Gerakan Pelestarian Kebudayaan
- Pemprov Sumbar Pastikan Telah Libatkan Sanggar Darak Badarak di Belasan Kegiatan, Luhur: Dilakukan Profesional
- Ketika Seniman Pemberontak Dirangkul Pemerintahan Mahyeldi-Audy
- Dinobatkan jadi Ketua Matra Sumbar, Audy Joinaldy Dianugerahi Gelar Kanjeng Pangeran Aryo Suryo Negoro