Belajar Sosial dari Masyarakat
*Annisa Aulia
Menerawang alur perjalanan yang saya lakukan beberapa waktu lalu, menuju nuansa pelosok daerah yang jauh dari keramaian. Jauh dari hiruk pikuk kendaraan, Bersih dari gas polutan yang membubung di sepanjang jalan raya kota.
Ngalau Gadang, nama daerahnya. Daerah pelosok di kabupaten Pesisir Selatan ini, memiliki akses lokasi dengan medan yang ekstrim. Badan jalan yang sempit, meliuk terjal naik turun. Dikawal tebing disatu sisi. Sedangkan sisi lainnya jurang curam seakan mulut yang terbuka, lapar menanti mangsa.
Pada waktu itu, saya bersama tim datang untuk membawa bantuan korban kebakaran disana. Disepanjang jalan, tak sekalipun kami berselisih jalan dengan kendaraan mobil. Hanya motor yang mungkin hanya tiga kali kami temui dijalan yang kira-kira kami tempuh selama dua jam perjalanan dari Bayang.
Tak ada akses telpon, apalagi internet. Warga hidup dalam kesederhanaan yang teramat sangat. Listrik pun, ada berkat kreatifitas warga memanfaatkan tenaga hidrolik dari 'Batang Aia' setempat. Bukan menerima asupan listrik dari kota. Saya sempat sangsi, bagaimana mereka bisa bertahan tanpa mengecap kemajuan teknologi. Bagaimana cara mereka berinteraksi?
Melihat suasana pedesaan yang senyap, yang jarak antar pemukimannya dipisahkan hutan belantara. Kedatangan saya dan tim mendapat sambutan hangat. Banyak hal yang ingin kami gali. Namun hari sudah terlalu gelap untuk berbetah-betah. Cuaca mulai menyeramkan saat kami hendak pulang, hujan mulai turun menemani perjalanan ke Padang.
Benar saja, menaiki ambulance yang telah kosong dari beban dan hanya diisi lima personil, tak cukup berat untuk roda menapak dengan mantap di tanjakan yang licin oleh air hujan. Ambulance tergelincir mundur. Pengendara dengan sigap banting stir ke kanan. Akhirnya ban kanan bagian belakang terperosok kesudut jalan. Ini pilihan yang lebih baik. Jika beliau tak sigap, mungkin saat itu ambulance yang kami tumpangi telah terperosok ke jurang yang menanti kami disebelah kiri.
Gelap, sepi, hujan, dan bingung, hal yang kami rasakan saat itu. Tenaga tim yang hanya terdiri dari tiga pria dan dua wanita tak cukup membantu mendorong mobil ditanjakan terjal ini. Sekitar 30 menit kami terjebak. Sampai akhirnya salah satu warga lewat, dan membantu mengkomunikasikan kondisi kami ke daerah tempat kami menyalurkan bantuan tadi.
30 menit lagi kami harus menunggu. Karena jarak yang telah kami tempuh dari daerah tadi lebih dari setengah kilometer. Akhirnya kami melihat titik-titik cahaya senter dari belakang kami. Subhanallah, jumlah mereka cukup banyak, berjalan kaki sejauh itu untuk membantu kami.
Salah seorang warga mengambil alih kemudi ambulance, lainnya mendorong mobil dari belakang. Alhamdulillah, lewat pertolongan warga, kami dapat lolos dari situasi mencekam itu. Tak hanya itu, kami diantarkan jauh melewati titik-titik ekstrim oleh warga yang mengambil alih kemudi.
Sepanjang perjalanan, beliau bercerita, dengan semangat gotongroyong-lah mereka bertahan. Cara komunikasi mereka? Ya begitu, saling sapa dan menghampiri, saling mengunjungi dan berinteraksi, meski tanpa alat canggih. Interaksi langsung yang terjalin antar warga-lah yang mempererat rasa kepedulian dan cinta sesama mereka.
Mendengarnya saya malu sendiri. Mungkin kita terlalu nyaman dengan kemajuan teknologi, menganggap komunikasi sudah bisa dihemat dengan alat di genggaman tangan. Namun kita tak menyadari arti interaksi yang sesungguhnya. Bagaimana kita bisa berbaur dan memberi arti antar sesama. Tak sekedar sapa di dunia maya. Namun saling mengisi jiwa dengan semangat gotong royong dan sosialisasi. Ah ya, teknologi telah membuat kita beranjak apatis. (*)
*Markom Dompet Dhuafa Singgalang
Opini Terkait
Kemenangan Kebenaran (Pelajaran Moral dari Kasus Dr Khairul...
Opini - 16 November 2024
Oleh: Zaiyardam Zubir
Tanpa Perencanaan Matang, Tujuan Humas Bagai Mimpi di Siang...
Opini - 18 Mei 2024
Oleh: Yandra Mulyadi