Obstruction of Press Freedom

*Wina Armada Sukardi

Sabtu, 01 Oktober 2022 | Opini
Obstruction of Press Freedom
Wina Armada Sukardi - Pakar Hukum dan Etika Pers, Advokat Tersumpah

Pernah ada suatu kasus di Sumatera Utara, ketika suatu rombongan mau meninjau tambang emas, sudah berkali-kali ditanya, apakah ada wartawan atau tidak dalam rombongan itu. Hal ini lantaran untuk wartawan bakal diatur meninjau sendiri.

Semua peserta menegaskan, di antara mereka tak ada yang wartawan, namun sampai di dalam tambang terbukti ada seorang wartawan menyelinap. Dia mengakui wartawan tetapi berkilah mau melakukan investigasi reporting. Hanya saja mengherankanya, dia memakai badge kartu wartawan di kantong bajunya dan badge itu dibalik.

Wartawan itu dinilai melakukan dua kesalahan. Pertama berbohong, kedua kalau mau melakukan investigasi reporting harusnya identitas kewartawanannya dihilangkan, tapi si wartawan justru memakai badge wartawan sehingga malah dapat diketahui umum dia wartawan. Tak mungkin seorang wartawan melakukan investigasi reporting seperti itu.

Sang wartawan tak puas, dan mengajukan tambang emasnya ke pengadilan dengan tuduhan obstruction of press freedom atau melanggar Pasal 18 ayat 1 UU Pers.

Pengadilan setelah mendengar pendapat para ahli pers, memutuskan perusahaan tambang emasnya tidak bersalah dan tidak dapat dikenakan obstruction of press freedom.

Dalam hal ini wartawannya justru dinilai beritikad buruk dan berlindung dari kepura-puraan melakukan investigasi reporting.

Sementara, KPK menerapkan obstruction of justice tanpa memandang bulu lagi. Tanpa tawar-tawar lagi. Semua yang dianggap menghambat penyidikan KPK, mereka langsung dikenakan pelanggaran obstruction of justice. KPK tak pernah mau mendengar alasan, misalnya, ada tugas advokat yang memang untuk melindungi klien yang kebetulan menjadi tersangka KPK.

Sampai kini tak ada satu pun advokat yang berani protes atau melapor atau menggugat KPK.

UU Pers Lebih Fair

Secara teknis yuridis, tuduhan obstruction of justice berdekatan dengan penggunaan abuse of power atau penyalahgunaan hukum dari para penegak hukum. Lantaran memiliki kekuasan untuk "menyingkirkan" siapapun, para penegak hukum dapat menjadi mudah menuding siapapun telah melanggar obstruction of justice, padahal mungkin masih dapat diuji apakah itu merupakan penerapakan abuse of power atau bukan.

Penggenaan pasal obstruction of justice dilakukan oleh lembaga hukum sendiri, sehingga siapapun dapat langsung dituding telah melakukan obstruction of justice, tanpa ada pihak lain yang dapat menguji kebenarannya. Akibatnya, pihak yang terkena tuduhan melakukan obstruction of justice tidak dapat membela diri lebih dulu, kecuali sudah menjadi terdakwa di pengadilan.

Halaman:

*Pakar Hukum dan Etika Pers, Advokat Tersumpah

Bagikan:
Dr dr Zuhrah Taufiqa MBiomed.

Tanggulangi Stunting dengan Edukasi Gizi dan PMT Pangan...

Opini - 03 Mei 2024

Oleh: Dr dr Zuhrah Taufiqa MBiomed

Dr. Rhandyka Rafli, Sp.Onk.Rad(K)

Kesenjangan Pelayanan Kanker: Tantangan dan Harapan

Opini - 01 Mei 2024

Oleh: Dr. Rhandyka Rafli, Sp.Onk.Rad(K)

Muhammad Fadli.
Ketua Pusat Studi Humaniora Universitas Andalas

Fenomena Politik Keluarga dan Tantangan Demokrasi Kita

Opini - 08 Maret 2024

Oleh: Dr Hary Efendi Iskandar

Dr. Hary Efendi Iskandar

Benarkah Gerakan Kampus Partisan

Opini - 27 Februari 2024

Oleh: Dr. Hary Efendi Iskandar