Mak Katik Tuturkan Pola Parenting Ala Adat Minangkabau, Begini Filosofinya
Kemudian, titik potong juga tidak berdasarkan ukuran centimeter seperti ilmu medis saat ini. Melainkan dengan ukuran panjang antara dari titik pusar dengan batas bibir bawah. "Jika anaknya terlahir tinggi maka dia akan jadi lebih panjang atau sebaliknya. Saat ini, dipukul rata 5 centimeter saja," ungkap Mak Katik dalam ceramah adat yang juga dihadiri Wali Nagari Salo, Anwar St Kayo serta pemuka masyarakat dari sejumlah nagari tetangga itu.
"Pengalaman saya saat menganjurkan titik potong tali pusar ini, si anak jadi seperti manih dagiang saat dewasanya. Proses pemotongan tali pusar ini, juga berkaitan dengan simbol warna pada marawa kita. Kuning, merah dan hitam. Dia tak lepas dari warna yang tampak di tali pusar itu," kata Mak Katik bertamsil.
"Meminta izin itu berkaitan dengan aqad. Proses aqad ini lah yang menjadikan kehalalan sebuah proses. Tak heran, orang-orang dulu itu tinggi etikanya dan halus budinya. Saya tak ingin berdebat dengan kondisi sekarang. Jika kita semua menyadari ada kesalahan, mari sama-sama kita perbaiki," tegasnya.
Baca juga: Pjs Bupati Agam jadi Instruktur Olahraga Rabu Pagi, Ini Pesannya
Kemudian, Mak Katik juga menuturkan pantangan keluarga dulu, dalam memberi makan anak dengan lebih dulu menutup pintu. Saat ini, anak diberi makan sembari jalan-jalan keliling komplek perumahan tempat tinggal.
Menutup pintu saat makan itu, tegasnya, mengajarkan pada si anak bahwa ada proses yang tak selalu bisa sesuai kehendak hatinya. "Jika saat ini ditemukan ada anak yang gampang saja melawan dan berkata-kata kasar pada orang tuanya, coba tanyakan bagaimana proses dia diberi makan saat kanak-kanak. Jika dengan berjalan-jalan, segera lah bertaubat nasuha," sarannya.
Banyak hal yang Mak Katik nukilkan dalam penuturan disertai tanya jawab selama dua jam setengah itu. Pria yang dilahirkan pada 18 Agustus 1949 itu, saat ini merupakan dosen luar biasa di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unand dan Fakultas Hukum UMSB Bukittinggi.
Walau hanya lulusan Sekolah Rakyat (SR), Mak Katik telah jadi dosen tamu di University of Hawaii, Menoa, Amerika Serikat dan Akademi Seni Warisan Budaya Kebangsaan Malaysia. Juga telah melanglang buana, mengenalkan adat Minangkabau ke berbagai negara di benua Eropa, Amerika, Asia Tengah dan lainnya.
Dikesempatan itu, Mak Katik yang asli Batipuah, Kabupaten Tanahdatar itu menegaskan, adat dengan agama di Minangkabau, ibarat aua jo tabiang, sanda manyanda kaduonyo. "Kini, mayoritas kita di Minang, mengamalkan ajaran Singosari atau Belanda. Adaik itu adaik. Nan agamo itu agamo. Berdiri sendiri. Tak saling berhubungan," tegasnya.
"Tak ada yang bertentangan antara adat dan syara'. Kajiannya sudah tuntas di orang tua kita dulu. Awalnya, berdasarkan permintaan orang awak yang ahli fiqih, adat itu mesti berdasarkan al Quran. Setelah perdebatan panjang dengan orang awak yang mengerti adat, disepakatilah dengan kata al Quran diganti syara'. Karena, makna syara' itu lebih luas jika dikaji secara lebih mendalam," tegasnya.
"Syara' itu mengacu pada ayat-ayat Allah yang diturunkan ke muka bumi sejak penciptaan makhluk Allah hingga kehadiran nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah terakhir," ungkapnya tentang pola pengasuhan (parenting) di Minangkabau yang terintegrasi dengan ajaran Islam.
Penulis:
Editor: Devan Alvaro
Sumber:
Berita Terkait
- Nagari Pagadih jadi Nominator 10 Terbaik ADWI Tahun 2024 Kategori Kelembagaan dan SDM
- Pokdarwis Sungai Batang Dilatih Pariwisata Ramah Muslim, Ini Harapan Pjs Bupati Agam
- 40 Pelaku Usaha Dibekali Pengetahuan tentang Pentingnya Kebersihan dalam Industri Pariwisata
- Nagari Pasia Laweh Miliki Museum Adat dan Kebudayaan, Ini Harapan Pjs Bupati
- Agam Usulkan Festival Rakik-rakik jadi Agenda KEN 2025