Rasa Kemanusiaan Kita
*Musfi Yendra
Sebuah pesan dari seorang teman masuk ke WhatsApp saya. Ia menceritakan tentang seorang bocah yang malang. Usia 10 tahun anak itu menderita tumor di tangannya. Sejak usia dua tahun ditinggal mati oleh sang ibu.
Kemudian bapaknya pergi hingga tak kembali. Si bocah itu kemudian dirawat dan dibesarkan oleh neneknya yang hanya seorang buruh tani.
Penyakit yang dideritanya semakin lama bertambah parah. Jalan satu-satunya harus dioperasi. Rumah sakit yang ada didaerah inipun harus merujuknya ke Jakarta. Dengan segala upaya ditempuh agar anak ini bisa diobati.
Menghimpun donasi ke sana kemari terus dilakukan. Hingga teman yang mengirim pesan ini pun bersedia mendampingi selama pengobatan bocah tersebut. Walaupun ia harus berkorban meninggalkan anaknya yang masih kecil.
Sebuah foto tersebar di viral media sosial. Seorang ibu menjadi korban pembunuhan junta militer Myanmar di Rohingya. Sedihnya anak lelaki yang masih balita dari si ibu tersebut masih hidup. Ia tetap berupaya menyusu pada ibunya yang sudah meninggal.
Air mata saya jatuh melihatnya. Bayi itu seumur anak saya.
Begitu banyak kisah nyata tentang manusia yang menyayat hati kita.
Tentang peperangan dan kekerasan yang memakan korban terutama ibu dan anak-anak. Tentang bencana alam yang mengakibatkan banyaknya korban.
Tentang anak-anak malang yang menderita penyakit, cacat dan miskin. Soal ketimpangan hidup antara yang miskin dan kaya.
Melihat berbagai fenomena sosial ini, rasa kemanusiaan kita terpanggil.
Rasa peduli muncul tak terbendung. Kepedulian sosial adalah minat atau ketertarikan kita untuk membantu orang lain.
*Pembina Dompet Dhuafa Singgalang
Opini Terkait
Kemenangan Kebenaran (Pelajaran Moral dari Kasus Dr Khairul...
Opini - 16 November 2024
Oleh: Zaiyardam Zubir