Heroisme Sopir Tuan Penguasa?
*Lindo Karsyah
Di Lapau Elka Mantagi Buci, Labai Bumer lagi meradang. Lelaki protektif pada lawan jenis ini, lagi kesal sepulang dari Kota Padang. Hatinya panas karena dipepet mobil tuan penguasa. Mobil tuan penguasa dengan nomor polisi satu digit pertama di sebuah kabupaten di Sumbar , melaju dengan gaya seenak perut. Labai terkejut. Darah tersirap dan hampir sumpah serapahnya keluar dari mulut.
Belum sempat mengucapkan apa-apa, mobil tuan penguasa sudah menghilang dari pandangan. Labai hanya bisa mengerutu saban waktu. Sebanyak-banyak dan sesering apapun mengerutu, hati Labai belum jua puas. Maka Lapau Elka Mantagi Buci jadi pelampiasan. Wedang serai belum dipesan, dia sudah mencak-mencak. Seperti orang marah pada pemilik lapau. "Puber kekuasaan para tuan penguasa Elka."
Elka yang mendengar terdiam sejenak. Pikirannya melayang, apakah yang dimaksud Labai adalah kasus sejengkal di bawah pusar nan menasional tersebut. Kasus tali air yang menghebohkan itu. "Siapa tuan penguasa yang Labai maksud? Puber kekuasaan seperti apa ini Labai?"
Tanya tak dijawab, Labai malah minta wedang serai hangat. Matanya menatap Elka, tapi tak sepatah kata pun terucap. Lama berlalu begitu. Elka paham karena memang begitu sifatnya Labai. Lontarkan pernyataan, lalu diam untuk beberapa menit kemudian. Walau ditanya, direspon, dan dikritisi, dia bergeming. Seperti seorang pemancing tanpa tujuan, ketika kail ditarik ikan, dia biarkan saja. Ditarik lagi, dibiarkan juga. Kala sudah diam, baru ditarik. Hmm...ikan tidak tersangkut dan umpan habis.
Kacau nian bukan? Tetapi itulah Labai. Namun demikian, Elka paling mafhum dengan kurenah kawan ini. Kalau sudah begitu, Elka asyik dengan kegiatannya kembali. Labai juga asyik dengan wedang serai dan seperti tidak menyatakan apa-apa.
Tatkala asyik-asyiknya Elka membaca buku, terdengar suara Labai. "Tadi pagi, saya sangat tak enak hati dengan perlakuan sopir tuan penguasa. Di tingkungan, mobil saya dipotong (dahului). Terpepet-pepet saya."
"Siapa itu tuan penguasa Labai?"
"Bupati!" kata Labai tanpa mau menjelaskan bupati mana gerangan yang berlalu lintas seperti orang tak beretika.
Diskusi berlangsung sampai di situ saja. Labai mendapat panggilan telepon dari seorang anggota dewan. Si wakil rakyat menunggu Labai untuk kegiatan filantropi. Elka ditinggal begitu saja. Ini tabiat kedua Labai yang kurang mengenakan. Kendati Labai sudah berlalu dari hadapan, namun apa yang dikatakan Labai masih berjibaku dalam pikiran Elka.
Soal mobil bupati dan pejabat lain yang ugal-ugalan di jalan raya sangat jamak terjadi. Rakyat jelata punya rumus; makin kecil nomor polisi mobil pejabat, kian merasa berkuasa mereka di fasilitas publik. Ketika di jalan, mereka berhak paling ngebut. Dahului sini dahului sana. Ketika di tempat parkir, paling berhak mendapat tempat. Rakyat maklum karena pejabat itu memang dilekati dengan sejumlah keistimewaan.
Ini yang rakyat susah maklum, keistimewaan digunakan secara tak beretika. Keistimewaan tanpa adab adalah teror. Rakyat jantungan ketika mendadak dipepet, apalagi di tikungan. Rakyat gelagapan dan beresiko masuk bandar. Berpotensi juga tewas di tempat. Apalagi pepet tanpa voorider. Tak ada bunyi pemberitahuan dari jauh. Tak ada tanda-tanda, orang berkuasa mau lewat. Tiba-tiba sudah di samping. Siapa yang tak terkejut.
*Mahasiswa Magister Ilmu Politik Unand
Opini Terkait
Kemenangan Kebenaran (Pelajaran Moral dari Kasus Dr Khairul...
Opini - 16 November 2024
Oleh: Zaiyardam Zubir
Tanpa Perencanaan Matang, Tujuan Humas Bagai Mimpi di Siang...
Opini - 18 Mei 2024
Oleh: Yandra Mulyadi