Heroisme Sopir Tuan Penguasa?
*Lindo Karsyah
Ingatan Elka melayang pada kejadian tahun 2012 saat musim Porprov sebelumnya. Sebuah mobil dinas orang nomor satu di sebuah kabupaten di Sumbar masuk bandar, di Jalan Raya Kabupaten Padang Pariaman menuju Kota Padang Panjang. Menurut berita, mobil ini melaju kencang mendahuli bendi. Saking kencangnya, hilang kendali. Bah...celaka! Sebagian orang berkomentar, untung penguasa itu tak apa-apa. Sebagian lagi mengatakan, untung bendinya baik-baik saja.
Apa yang bisa menjelaskan fenomena mobil penguasa ugal-ugalan di jalan raya? Tulisan Anas Urbaningrum pada buku Refleksi Pemikiran, Perilaku dan Etika Politik Indonnesia bisa dirujuk. Anas mengatakan, perilaku ugal-ugalan sopir metromini itu bisa dijelaskan dengan sudut pandang situasi dikejar atau mengejar setoran. Idiologi dikejar atau mengejar setoran telah membuat sopir berani nekat di jalanan. Dan karena idiologi itu merasuki hamper semua sopir metromini, dikejar atau mengejar setoran telah menjadi bagian intrinsik kesadaran jalan raya sang sopir. Dengan kesadaran jalan raya yang dirasuki roh dikejar atau mengejar setoran ini, maka etika, akhlak dan kesantunan jalan raya lantas diabaikan.
Itu sopir metromini yang nyaris punah di ibukota. Tapi tabiatnya tak beda dengan sopir penguasa. Yang berbeda hanya pakaian dan penumpang yang dibawa. Penampilan sopir metromini sedaanya, tapi sopir penguasa necis, rapi dan parlente. Penumpang metromini rakyat awam, sopir penguasa menyopiri orang penting.
Kemudian idiologi sopir penguasa dikejar dan mengejar waktu. Waktu lebih mahal dan bernilai bagi sopir penguasa. Sopir panguasa membawa orang yang memutuskan hal ihwal terkait hayat hidup orang banyak. Membawa orang hebat dan selalu didahulukan dalam segala urusan di teritorial kekuasaannya.
Soal setoran bagi sopir metromini dan soal waktu bagi sopir penguasa. Itulah yang membuat dua sopir ini konsisten berlaku ugal di jalan raya. Idiologi setoran dan tepat waktu menyebabkan mereka berani nekat tanpa adab di jalan. Memepet mobil rakyat sepertinya dianggap heroisme mengemudi dan selanjutnya ditempatkan sebagai kebanggaan. Dengarlah celutukan para sopir penguasa sehabis perjalanan. Bangga mereka dengan kecepatan tinggi. Bergembira mereka melihat rakyat tergagap saat dipepet.
Lantas apakah sikap sopir itu berdiri sendiri? Tentu tidak. Itu perintah. Standar sopir penguasa. Jika tak bisa mengemudi kencang dan lihai, tak bisalah jadi sopir orang penting. Berikutnya, dimana adab? Kemana etika sopan santun penguasa yang begitu aduhai saat kampanye? Siapa sesungguhya yang tak beretika?
Saat berkelabat pikiran dalam benak Elka, Labai datang. Dia Langsung minta wedang serai. Pikiran tentang tabiat buruk sopir penguasa terhenti. Labai memulai cerita baru lagi. Alamak...lapau memang begitu adabnya. (*)
*Mahasiswa Magister Ilmu Politik Unand
Opini Terkait
Kemenangan Kebenaran (Pelajaran Moral dari Kasus Dr Khairul...
Opini - 16 November 2024
Oleh: Zaiyardam Zubir
Tanpa Perencanaan Matang, Tujuan Humas Bagai Mimpi di Siang...
Opini - 18 Mei 2024
Oleh: Yandra Mulyadi