Murni yang Dioplos Wahai Tuan!
*Lindo Karsyah
Anakku bertanya seusai kami panen sarai. "Ayah...apa itu oplosan?" Saya tergelenjak. Keringat belum kering di tubuh dan masa rehat baru dimulai, anakku sudah berdialektika.
Saya tatap wajahnya. Dia serius menyampaikan apa yang dikatakannya. Entah darimama asal mula kata itu bergelayut pada pikiran.
"Pencampuran Nak. Sesuatu yang asli dicampur dengan bahan lain. Sehingga menimbulkan efek lain pula. Jika itu minuman keras, ia bisa berujung kematian, Manakala itu politik, orang menyebutnya pencitraan. Tindak tanduk politisi dibungkus sedemikian rupa, sehingga terlihat ia seperti dewa, orang hebat, peduli dan pro rakyat. Bilamana itu agama, orang mengenalnya dengan kata munafik."
Kemudian anakku mengatakan, barusan dia menonton berita tentang banyak orang yang mati karena minuman oplosan. Berita itu sungguh menyedihkan. Maksud hati mau pesta pora, malah berujung petaka. Sesuatu yang dilakoni dengan cara tidak lurus, ujungnya mampus.
Mendengar semua itu, saya teringat ketika tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Di akhir pendidikan, anak didik menerima Nilai Evaluasi Murni sebagian hasil ujian terakhir. NEM singkatannya.
Seketika itu saya yakin, NEM itu murni, tidak ternoda, bercampur, apalagi dioplos dengan kepentingan lain.
Namun setelah saya kuliah, saya tidak lagi percaya dengan NEM itu sebagai sesuatu yang murni. Saya percaya NEM itu sebuah oplosan kepentingan. Murni itu tidak murni. Namanya saja yang murni, tapi tidak seperti nomenklaturnya.
Cerita bermula ketika seorang guru di sekolah itu bertutur. Sebenarnya NEM teman saya yang tertinggi itu bukan segitu. Dia bisa mendapatkan angka nyaris Sembilan semuanya karena permintaan orangtua yang bersangkutan.
Dia pengen melanjutkan pendidikan di ibukota provinsi. Di sekolah favorit nan unggul. Untuk bisa masuk ke sana, NEM mesti tinggi. Atas dasar itulah, NEM sebagai sesuatu sakralitas kemurnian dicelakai.
Apakah anak didik itu kena petaka atas oplosan NEM? Entahlah. Tapi selama di sekolah yang unggul itu, dia menjadi siswa biasa-biasa saja. Tapi sekarang, dia seorang pejabat di perubahan besar. Ia tersohor dan namanya sering jadi buah bibir di kampung halaman.
Lantas kemudian, apakah kepala sekolah, panitia ujian dan guru yang terlibat, kena petaka pula kayak orang minum oplosan? Saya tidak tahu dan tidak juga cari tahu. Namun pentingnya adalah bahwa yang murni itu tidak murni sebenarnya.
*Mahasiswa Pascasarjana Unand
Opini Terkait
Kemenangan Kebenaran (Pelajaran Moral dari Kasus Dr Khairul...
Opini - 16 November 2024
Oleh: Zaiyardam Zubir
Tanpa Perencanaan Matang, Tujuan Humas Bagai Mimpi di Siang...
Opini - 18 Mei 2024
Oleh: Yandra Mulyadi