Zakat dan Ekonomi Keummatan
*Riko Onki Putra
Sebuah kekahwatiran muncul ketika terjadi dikotomi persoalan agama dan kehidupan bernegara. Agama menurut KKBI berarti ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tata kaidah yang berhubungan tentang pergaulan manusia dengan manusia, serta manusia dengan lingkungannya.
Benar adanya bila kita tak bijak memahami konteks keberagamaan, maka kita akan terkesan ekstrim dalam pelaksanaannya. Namun alangkah lebih baik bila kita memahami konteks keberagamaan dengan bijak dan mengimplementasikan dengan baik dalam kehidupan bernegara.
Kalaulah kita melihat bagaimana arti Agama menurut KBBI tadi dan kembali kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabat, hidup bernegara dalam aroma keagamaan yang kuat, rakyat beragama non-Islam dapat menjalankan ibadah dengan baik, hidup bermuamalat dengan baik pula.
Salah satu aspek dalam beragama yang sangat diperhatikan oleh Rasulullah SAW adalah zakat. Tak salah pula kiranya pada zaman Khalifah Abu Bakar RA, salah satu golongan yang diperangi dan diminta untuk bertaubat itu adalah orang (wajib zakat) yang tidak mau membayar zakat.
Bahkan dalam al-Qur'an, Zakat seringkali disebutkan bersamaan dengan sholat dalam sebuah ayat, misalnya "Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang ruku'." (QS: Al Baqarah ayat 43).
Seorang imam besar dunia, Dr. Yusuf Al-Qardhawi, menyatakan bahwa zakat dapat berfungsi sebagai pembeda antara keislaman dan kekafiran, antara keimanan dan kemunafikan, serta antara ketaqwaan dan kedurhakaan. Maka muncul pertanyaan besar kepada kita, begitu pentingkah Zakat bagi kehidupan kita?
Zakat merupakan manifestasi dari kegotongroyongan antara orang kaya dengan fakir miskin. Pemberdayaan zakat merupakan perlindungan bagi masyarakat dari bencana kemasyarakatan, yaitu kemiskinan, kelemahan baik fisik maupun mental.
Zakat pulalah yang menghindarkan kaum dhuafa dari jebakan ekonomi kapitalis melalui praktik rentenir dan riba. Hasil penelitian Ria Norita dari Universitas Sumatera Utara (USU) menemukan bahwa jumlah dana zakat dan infak yang disalurkan untuk kegiatan produktif memiliki pengaruh signifikan dalam usaha meningkatkan pendapatan kaum dhuafa.
Hal penting yang harus digarisbawahi disini adalah zakat untuk permodalan kegiatan produktif kaum dhuafa. Maka wajar, sejarah mencatat, dengan pengelolaan zakat yang baik oleh lembaga amil zakat, pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis, tidak ada lagi kemiskin di masyarakat.
Dalam pengelolaannya, Zakat haruslah dikelola dengan baik dan se-transparan mungkin penggunaannya oleh Lembaga Amil Zakat. Selain berfungsi untuk meningkatkan kepercayaan dari Muzakki (wajib zakat) untuk menyalurkan, kedua hal tersebut penting guna memberikan manfaat sebesarnya bagi mustahik serta menambah keberkahan bagi amil.
Sebagai salah satu Lembaga Amil Zakat yang diakui negara, Dompet Dhuafa Singgalang mengelola dana Zakat dengan sebaik mungkin. Mulai dari pelayanan dengan memberikan kemudahan cara berzakat sampai konsultasi zakat maupun keagamaan bagi Muzakki, konsultasi bagi Mustahik, sampai membuatkan program-program yang membantu mustahik dalam mengatasi masalahnya dengan pemberdayaan. Selain itu, pelaporan penggunaan dana oleh Dompet Dhuafa Singgalang juga sangat transparan dan dapat diaudit dengan baik.
*Manager Program Dompet Dhuafa Singgalang
Opini Terkait
Kemenangan Kebenaran (Pelajaran Moral dari Kasus Dr Khairul...
Opini - 16 November 2024
Oleh: Zaiyardam Zubir
Tanpa Perencanaan Matang, Tujuan Humas Bagai Mimpi di Siang...
Opini - 18 Mei 2024
Oleh: Yandra Mulyadi