Tahun Perebutan Kekuasaan Bung!
*Lindo Karsyah
Merujuk pada data Kemendagri, Pilkada serentak tahun 2015 diikuti 204 daerah, ditambah 67 daerah yang akhir masa jabatan (AMJ) periode semester pertama tahun 2016. Ada 271 daerah dari 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi di Indonesia. Lebih dari separoh daerah di republik ini menghelat pemilihan kepala daerah.
Dalam bahasa lainnya, bisa disebut tahun perebutan kekuasaan secara demokratis. Tahun orang dipilih untuk sosok didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting di daerahnya.
Undang Undang Nomor 1 Tentang Pilkada, mensyaratkan bakal calon kepala daerah sedemikian ketatnya. Sosok yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Kemudian, tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian, tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan Negara dan banyak lagi syarat lainnya.
Pokoknya aturan mengamanatkan bahwa yang bakal tampil sebagai kepala daerah itu bukan anak bangsa yang tercela. Mereka adalah orang hebat dan menghebatkan, orang baik dan membaik, sosok pintar yang memintarkan dan seterusnya.
Akan tetapi manakala dibaca-baca lagi serat Kalathida karya Raden Ngabehi Ronggowarsito dengan menyandingkan fakta dimana banyak munculnya bakal calon dengan segala kurenahnya, ini menjadi suatu yang patut ditelaah.
Di lapangan, orang yang akan maju itu perang baliho, poster dan spanduk, kendati tahapan belum mulai. Alat peraga perkenalan diri bertebaran dimana-mana. Saling himpit dan ganti. Satu orang baru pasang, yang lainnya menutupinya. Belum lagi perang pada media lain. Saling serang dan menyerang.
Apakah ini yang disebut pujangga Surakarta terkenal itu sebagai zaman edan, zaman gila dan zaman sesat. Dimana orang berburu kekuasaan tanpa etika. Seolah alam raya ini sudah terbalik. Tuhan sudah tidak ditakuti lagi. Manusia lebih takut pada kekuasaan dan uang. Berhala baru muncul berbentuk wajah kekuasaan dan uang menjadi sarana pemujaan hawa nafsu.
Di sisi lain, politik dimaknai sebagai cara untuk mendapatkan kekuasaan. Politik sangat identik dengan kekuasaan. Di dalamnya, ada arena persaingan untuk merebut puncak kewenangan.
Sebagaimana dilontarkan Machiavelli dalamIl Prince, seorang politikus-penguasa yang hebat adalah yang mampu menghimpun kedaulatan penuh dalam kekuasaannya dengan cara apapun.
Jika ini berlanjut terus sampai hari pemunggutan suara, tentu tak elok buat kualitas demokrasi. Negeri ini butuh pemimpin demokratis yang dipilih secara demokratis. Kualitas proseduralnya terpenuhi, kualitas substansialnya tidak kurang.
*Praktisi Pemilu
Opini Terkait
Kemenangan Kebenaran (Pelajaran Moral dari Kasus Dr Khairul...
Opini - 16 November 2024
Oleh: Zaiyardam Zubir