Manusia dan Allah
*Dr Emeraldy Chatra
DALAM filsafat Cartesian, eksistensi Tuhan diakui sebagai infinite – tak berhingga. Sedang manusia sebaliknya: finite.
Manusia baru dapat menangkap ke-takberhingga-an Tuhan kalau mereka mengakui eksistensi Tuhan.
Saya bukan Cartesian murni, dalam arti mengikuti seluruh pemikiran Rene Descartes, namun setuju bahwa manusia itu finite – terbatas dalam berbagai hal, tentu saja termasuk dalam berpikir.
Pikiran itu menurut saya, salah satu bukti bahwa manusia tidak sendiri, melainkan bersama Tuhan.
Allah yang memberi manusia otak dan pikiran, dan Allah juga yang ‘memprogram’ otak manusia. Tapi mengapa kemudian pikiran manusia dapat berlawanan dengan kehendak Allah?
Sains modern tidak akan mampu menjawab pertanyaan ini karena sudah keburu menegasikan Tuhan.
Ketidakmampuan sains modern memberikan jawaban mendorong kita untuk kembali ke dunia metafisika atau filsafat yang spekulatif. Filsafatlah yang mampu menjelaskan mengapa kedurhakaan kepada Allah terjadi.
Cogito ergo sum, kata Descartes.
Ya, saya berpikir karena itu saya ada. Karena itu saya harus berpikir, walaupun mungkin keliru.
Saya memandang, manusia pada dasarnya terkoneksi dengan Allah, namun dalam berbagai kualitas.
Sebagian kecil terkoneksi secara intensif, terus menerus, tapi sebagian besar hanya terkoneksi secara parsial karena manusia juga membangun koneksi dengan tuhan-tuhan yang lain yang dapat menegasikan Allah dari pikiran manusia.
*Dosen FISIP Unand
Opini Terkait
Tanpa Perencanaan Matang, Tujuan Humas Bagai Mimpi di Siang...
Opini - 18 Mei 2024
Oleh: Yandra Mulyadi