Fast Fashion: Gaya Hidup yang Merusak Bumi

*Fauziah Nur

Senin, 28 November 2022 | Opini
Fast Fashion: Gaya Hidup yang Merusak Bumi
Fauziah Nur - Mahasiswi Jurusan Biologi FMIPA Unand

Dalam hal produksi industri fashion telah menghasilkan limbah tekstil hingga 92 juta ton hingga mencapai 148 ton setiap tahunnya.

Sangat disayangkan bahwa limbah tekstil ini dibuang begitu saja ke sungai oleh negara-negara berkembang sehingga terjadi penumpukan sampah tekstil yang merusak lingkungan, sampah tekstil tersebut membutuhkan waktu puluhan tahun untuk terurai.

Selain itu, dalam memproduksi fashion sangat dibutuhkan pasokan air dalam jumlah besar untuk penanaman kapas.

Penggunaan air berlebihan dapat menyebabkan CO2 yang lepas ke atmosfer bumi mencapai 1,7 miliar ton.

Tidak hanya itu, dalam pewarnaan tekstil menggunakan bahan kimia dapat mencemari air laut dan sungai. Faktanya dampak tersebut telah terjadi pada sungai di daerah Cigondewah, Bandung ditandai dengan berubah-ubahnya warna air sungai karena pencemaran air.

Jika limbah dan zat beracun tersebut masuk dalam rantai makanan ekosistem perairan menyebabkan akumulasi zat beracun semakin besar. Akan sangat disayangkan apabila zat beracun tersebut sudah terpapar pada ikan yang dikonsumsi oleh manusia. Dimana hal ini menyebabkan kerusakan pada proses fisiologis manusia.

Warna-warna cerah dan bermotif menjadi daya tarik dalam trend fashion. Kain bermotif dan warna warni ini diperoleh dari bahan dasar poliester yang dapat merusak lingkungan.

Setelah pakaian itu dicuci di mesin rumah maka polyester akan melepaskan mikrofiber yang menambah jumlah limbah plastik di laut.

Menurut laporan dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 2017 memperkirakan bahwa 35 persen dari semua mikroplastik di lautan berasal dari pencucian tekstil sintetis seperti poliester.

Tidak kalah merusak, pencemaran pada perairan akan merusak kestabilan ekologis dan mengurangi populasi ekosistem perairan seperti ikan, plankton, alga, udang, cumi-cumi dan hewan lainnya yang menjadikan laut dan sungai sebagai habitat hidup mereka.

Akibatnya masyarakat akan kehilangan sumber lauk-pauk dari perairan dan berdampak buruk pada perekonomian nelayan.

Halaman:

*Mahasiswi Jurusan Biologi FMIPA Unand

Bagikan:
Ramdalel Bagindo Ibrahim

Mengobati Luka Galodo dengan Hati dan Kelola Pikir

Opini - 17 Mei 2024

Oleh: Ramdalel Bagindo Ibrahim

Dr dr Zuhrah Taufiqa MBiomed.

Tanggulangi Stunting dengan Edukasi Gizi dan PMT Pangan...

Opini - 03 Mei 2024

Oleh: Dr dr Zuhrah Taufiqa MBiomed

Dr. Rhandyka Rafli, Sp.Onk.Rad(K)

Kesenjangan Pelayanan Kanker: Tantangan dan Harapan

Opini - 01 Mei 2024

Oleh: Dr. Rhandyka Rafli, Sp.Onk.Rad(K)