Guru dan Konsistensi Pendidik

*Tryas Wardani Nurwan

Kamis, 11 Juni 2015 | Opini
Guru dan Konsistensi Pendidik
Tryas Wardani Nurwan - Koordinator School of Master Teacher DDS
VISI MISI CALON GUBERNUR SUMBAR PILKADA SERENTAK 2024

Suatu ketika, diatas motornya seorang lelaki paruh baya yang baru mendiami sebuah kota kecil tertegun heran melihat sekelilingnya. Dia tertegun karena ketika lampu merah yang menyala dipersimpangan jalan, hanya dia yang berhenti menunggu lampu hijau menyala. Sementara pengendara lainnya menerobos tanpa menghiraukan warna lampu lalu lintas. Pandangan itu tidak pernah ia jumpai di kota kediaman sebelumnya.

Sampai ketika ia terburu-buru ke kantor, ia sempat berfikir dan berniat apakah mengikuti pengendara lainnya atau tetap berhenti tanpa berkawan. Setelah berfikir, Ia memilih opsi yang kedua: mematuhi lampu merah walaupun itu berarti terlambat masuk kantor yang berarti juga pelanggaran di kantornya. Meski dengan menerobos lampu merah ia mempunyai banyak "kawan", dan tiba lebih awal, namun saat mematuhi lampu merah itulah ia merasa puas karena tak mengakibatkan kemacetan dan memberi ruang bagi yang berhak.

Kenyataan seperti di atas sering kita jumpai dalam dunia pendidikan. Ketika pertama kali masuk, seorang guru yang idealis sering dihadapkan pada benturan-benturan kepentingan yang dibungkus dengan kepentingan pendidikan, tak jarang memilih untuk mengabaikan kualitas pendidikan.

Belum lagi beberapa kondisi lingkungan yang membuat si guru merasa "sendiri". Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi pada guru : mengikuti arus, membuat perubahan disekitarnya, tetap konsisten walau merasa "sendiri", bahkan kemungkinan mengundurkan diri dari sekolah tersebut.

Seperti si pengendara diatas, diperlukan konsistensi dari si pendidik agar ia tetap berada di jalur yang benar walau terkadang tak aman. Jika si pengendara merasa puas melewati jalanan ketika lampu merah berganti dengan lampu hijau, walau sama macetnya, karena ia merasa berhak melewati jalanan karena lampu hijau telah memberi tanda. Begitu pun hendaknya dengan si pendidik, ia merasa bahwa konsistensinya akan membawa kepuasan tersendiri bagi dirinya dan bahkan berpengaruh besar bagi peserta didiknya.

Sebagai contoh, guru akan menyediakan Rencana Pembelajaran (RPP) jika ada pengawas yang datang melakukan supervisi kelas. Ia menyiapkan kelengkapan sedetail mungkin, menyediakan media pembelajaran sekreatif mungkin hingga menyiapkan peserta didiknya agar "berlaku baik" selama berada di dalam kelas ketika si pengawas tersebut memantaunya mengajar.

Namun selepas supervisi, apa yang terjadi? Dia kembali mengajar tanpa RPP yang secara kependidikan berarti mengajar tanpa perencanaan yang matang karena RPP adalah acuan dalam kegiatan pembelajaran. Si guru kembali mengajar monoton, membiarkan murid-muridnya menyerap pelajaran tanpa memberikan pengalaman belajar yang berarti.

Padahal guru tersebut tahu, dengan memberikan pengalaman, akan mendukung tercapainya tujuan belajar. Si guru bahkan lupa pada profesinya sebagai pendidik yang mestinya memberikan teladan bagi anak muridnya.

Lantas bagaimana jika pengawas datang melakukan supervisi secara tiba-tiba? Nah, disinilah kualitas seorang guru diuji. Terlepas dari adanya supervisi atau tidak, sudah selayaknya guru konsisten melaksanakan tugasnya sebagai guru yang handal diberbagai situasi.

Bukankah tujuan guru yang sebenarnya bukan angka-angka di lembaran kertas yang dilakukan pengawas? Disinilah guru harus menyelami profesi mereka. Kembali menanyakan kepada diri sendiri, untuk apa menjadi guru. Bukankah tujuan guru yang sebenarnya adalah murid itu sendiri? (*)

*Koordinator School of Master Teacher DDS

Bagikan:
IKLAN NOMOR URUT CALON WALI KOTA DAN WAKIL WALI KOTA PADANG 2024
Erison A.W.

Dr Rasidin Diangkat jadi Wali Kota

Opini - 16 Agustus 2024

Oleh: Erison A.W.

Hamriadi S.Sos ST

Putra Daerah di Pusaran Pilkada Bukittinggi

Opini - 16 Juli 2024

Oleh: Hamriadi S.Sos ST

Dosen FISIP Unand.

UKT Mahal, Tak Usah Kuliah

Opini - 20 Mei 2024

Oleh: Dr Emeraldy Chatra