Hikmah Ramadhan: Kisah dan 'Ibrah
*Irsyad Syafar
Dahulu kala di zaman Nabi Musa as, hiduplah seorang hartawan yang kaya raya. Kekayaannya melimpah ruah tidak terkira. Namun ia tidak punya anak keturunan yang akan mewarisi kekayaannya. Ahli waris yang ada hanyalah para kerabatnya.
Salah seorang pemuda dari kerabatnya sangat menginginkan harta yang banyak tersebut. Imam Ibnu Jarir Ath Thabary menukilkan dalam tafsirnya tiga versi riyawat tentang pemuda ini. Ada yang mengatakan dia salah seorang kerabatnya atau walinya.
Ada riwayat menyebutkan pemuda tersebut adalah anak laki-laki dari saudara hartawan tersebut. Riwayat ketiga menyebutkan ia seorang pemuda miskin yang melamar anak gadis hartawan tersebut. Tapi lamarannya ditolak.
Pemuda ini tidak sabar lagi untuk segera mendapatkan harta warisannya. Sekaligus mendapat uang diyat (pengganti) kematian hartawan itu. Karenanya, diam-diam ia merancang pembunuhan hartawan tersebut. Sekira-kira yang tertuduh nantinya adalah orang lain.
Pada suatu malam ia eksekusi pembunuhan tersebut. Kemudian mayatnya ia letakkan di depan sebuah rumah di desa (kabilah) yang lain. Sehingga penduduk desa itu akan menjadi tertuduh. Paling tidak, mereka bersama harus membayar diyat karena mayatnya berada di kampung mereka.
Keesokan harinya pemuda tersebut pura-pura mencari kerabatnya yang kaya raya itu, karena sudah hilang di desanya. Sampailah ia di lokasi mayat di desa tetangga. Terjadilah keributan karena penduduk desa tersebut menjadi tertuduh. Dan si pembunuh yang berpura-pura kehilangan kerabatnya itu, menuntut pembayaran diyat (ganti) atas kematian kerabatnya.
Akhirnya keributan itu berhenti setelah ada yang mengusulkan agar melaporkan kasus ini kepada Nabi Musa. Sekaligus meminta petunjuk untuk menyingkap siapa gerangan pembunuh sebenarnya.
Maka Nabi Musa ketika itu memohon petunjuk kepada Allah. Agar diberitahu siapa sebenarnya pembunuh lelaki kaya tersebut. Ternyata Allah tidak langsung memberikan jawaban. Allah malah memberikan pelajaran berharga kepada mereka (bani Israil).
Allah memerintahkan mereka untuk menyembelih seekor sapi. Mendengar perintah yang terkesan aneh ini, watak asli bani Israil ini muncul. Yaitu watak pembangkang, tidak patuh dan percaya (tsiqah) kepada Allah. Apalagi kepada NabiNya.
Respon awal mereka langsung melecehkan Nabi Musa. Seolah-olah yang berbicara kepada mereka bukanlah seorang Nabi. "Wahai Musa, apakah engkau jadikan kami sebagai bahan olok-olokkan?" Kata mereka kepada Nabi Musa.
Karena tidak ingin berdebat panjang dengan mereka, Nabi Musa langsung menjawab, "Aku berlindung kepada Allah agar aku tidak menjadi orang-orang yang bodoh".
*Pendidik di PIAR
Opini Terkait
Kemenangan Kebenaran (Pelajaran Moral dari Kasus Dr Khairul...
Opini - 16 November 2024
Oleh: Zaiyardam Zubir
Tanpa Perencanaan Matang, Tujuan Humas Bagai Mimpi di Siang...
Opini - 18 Mei 2024
Oleh: Yandra Mulyadi