Saat Hasrat Berkuasa Mengubah Jiwa: Sindrom Rajjal
*Akmal Nasery Basral
Saya menyebut gejala ini sebagai Sindrom Rajjal (Rajjal Syndrome) -- istilah yang mungkin belum pernah digunakan siapa pun sebelumnya. Namun mereka yang berkutat dengan sejarah Islam di masa Nabi Muhammad Saw hidup, mengetahui bahwa meski hampir seluruh individu yang dididik langsung oleh Rasul tetap berpegang teguh pada ajaran yang mereka terima sampai mati, ternyata ada juga sosok yang menikung mengambil jalan berbeda.
Nama lelaki itu adalah Rajjal bin Unfuwwah, seorang lelaki dari Yamamah.
Rajjal yang pernah duduk langsung di dalam Majelis Nabi, menjadi salah seorang murid langsung Madrasah Rasulullah, dan menjadi tumpuan harapan Al Amin sebagai da'i pilihan yang akan membawa cahaya kebenaran bagi rakyat Yamamah, ternyata saat dikirim lagi ke wilayah tersebut secara perlahan justru larut dalam pengaruh Musailamah -- tokoh lokal Yamamah yang justru menjadi awal target dakwahnya.
Musailamah seorang Macchiavellian. Dia bukan tak melihat bagaimana Islam terus berkembang dan bisa menggeroti pengaruhnya. Maka dia menyusun rencana, menghadap Nabi di Madinah dengan satu usulan: bersedia masuk Islam asal dirinya dinyatakan juga sebagai Nabi untuk wilayah Yamamah.
Ketika Nabi menolak usul "power sharing" itu, Musailamah yang mutung kembali ke wilayahnya, dan mengumumkan diri sebagai nabi yang lebih hebat dari Muhammad. Bahkan dalam surat-surat resminya dengan Nabi Muhammad, Musailamah pun tak ragu lagi memposisikan dirinya sebagai nabi yang setara. Dan Nabi Saw membalasnya dengan sebutan pendek: Musailamah Sang Pendusta (Musailamah Al Kadzdzab).
Maka, kepada orang seperti itulah Rasulullah mengirim Rajjal bin Unfuwah, seorang mubaligh muda yang energetik, cerdas, dan orator ulung yang setiap katanya mampu menyihir pendengar.
Para sahabat di Madinah optimistis Rajjal bisa mempengaruhi Musailamah. Namun keadaan di lapangan justru berlangsung sebaliknya. Rajjal malah tunduk pada pengaruh Musailamah dan menyebar dusta kepada rakyat Yamamah bahwa Nabi Muhammad sudah memberikan restu kepada Musailamah sebagai nabi pendamping. Akibatnya banyak orang awam yang terpengaruh, dan bergabung mendukung Musailamah. Rajjal sendiri naik pangkat menjadi tangan kanan Musailamah. Bertiga dengan Muhkam bin Thufail, mereka menjadi semacam triumvirat penguasa Yamamah dengan Musailamah berada di puncak segitiga.
Takdir Ilahi menetapkan Nabi Muhammad lebih dulu wafat sebelum masalah Yamamah terselesaikan. Khalifah pertama Abu Bakar r.a. yang menjadi pelanjut kepemimpinan, mengambil tindakan tegas terhadap kubu Yamamah yang sedang girang karena merasa kekuasaan dan pengaruh mereka akan terus membesar sepeninggal Nabi. Konflik pecah dan meletus menjadi pertempuran sengit.
Di peristiwa itu pula hidup Rajjal berakhir tragis di tangan Zaid bin Khattab, kakak Umar bin Khattab, yang sudah mempersiapkan dirinya secara khusus untuk menumpas para pemalsu kenabian, dan Allah wujudkan keinginannya.
Satu pertanyaan menggoda akan muncul di kepala kita: apakah Nabi Muhammad yang selalu dibimbing wahyu dari langit tidak pernah mengira bahwa Rajjal akan berubah arah, dari seorang da'i pilihan menjadi orang yang berganti haluan?
Nabi ternyata tahu, seperti juga seorang sahabat lain bernama Abu Hurairah. Hanya saja Abu Hurairah tidak terlalu yakin akan pengetahuannya, atau lebih tepatnya lagi, hatinya penuh ketakutan karena bisa saja dirinya yang berada di posisi Rajjal.
*Chairperson Forum Akselerasi Masyarakat Madani Indonesia (FAMMI), Sosiolog
Opini Terkait
Kemenangan Kebenaran (Pelajaran Moral dari Kasus Dr Khairul...
Opini - 16 November 2024
Oleh: Zaiyardam Zubir
Tanpa Perencanaan Matang, Tujuan Humas Bagai Mimpi di Siang...
Opini - 18 Mei 2024
Oleh: Yandra Mulyadi