Ke Pedalaman: Berbagi Buku, Berbagi Cerita
*Y Thendra BP
Bujang dan gadis nan jolong gadang memainkan bungo silek di bawah langit petang, menyambut saya dan Lindo Karsyah (Komunitas Rumah Bata) di halaman balai adat saat bertandang ke rumah baca Negeri Awan, Nagari Silantai, Jumat (20/10/17).
Selepas bungo silek dikembangkan, para pandeka mudo itu mempersilakan kami naik ke balai adat di lantai dua yang terbuat dari beton. Sementara di sekitarnya masih bertahan beberapa rumah kayu dalam kemiringan--arsitektur masa lalu yang akan runtuh.
Anak-anak, bujang, dan gadis nan jolong gadang berebut naik tangga ke lantai dua balai adat. Sambil menunggu giliran, saya cek sinyal provider di android buatan Cina milik saya. Hum... masih E!
Meskipun nagari tua ini pernah menjadi salah satu kawasan perdagangan Minangkabau jaman saisuak yang diperhitungkan, khususnya perdagangan emas dan kain, sebagaimana tercatat sekilas dalam buku "Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784 -- 1847" (Komunitas Bambu, 2008) karya Christine Dobbin, akan tetapi pusaran angin kini membuatnya jadi pedalaman.
Sejak Indonesia merdeka, peradaban masuk ke nagari tua ini diangsur-angsur dengan lambat. Sebelum 1990-an, orang berjalan kaki semalaman untuk sampai ke kota kecamatan Sumpur Kudus, Kumanis, melalui jalan tanah melewati nagari yang bernasib sama seperti Sumpur Kudus dan Tamparungo, di sela dengan rimba sansai dan jejak gerilya PDRI. Sedangkan jalur sungai (Batang Sumpur) sudah diasak ke jalan aspal.
Padahal jalur sungai pernah membuat daerah-daerah (beberapa kini jadi pedalaman) di Minangkabau memiliki peradaban maju, terhubung ke pantai timur Sumatra, berlayar ke negeri-negeri jauh.
Sesungguhnya negeri rayuan pulau kelapa yang bernama Indonesia ini adalah negeri seribu sungai, sungai yang memberi nama dan kisah pada setiap kampung yang tumbuh di tepiannya. Namun mengapa kini begitu banyak sungai jadi pesakitan, kurus dan kumal, terseok-seok mengalirkan sampah ke muara?
Listrik negara baru masuk pada tahun 2000-an ke nagari tua ini.
"Naik ke atas, Pak!" ajak seorang anak.
Saya tersenyum dan mengangguk kepadanya.
Ah, sudah berumur saya rupanya, batin saya sambil mengusap-usap janggut.
*Penyair dan Jurnalis Independen
Opini Terkait
Kemenangan Kebenaran (Pelajaran Moral dari Kasus Dr Khairul...
Opini - 16 November 2024
Oleh: Zaiyardam Zubir
Tanpa Perencanaan Matang, Tujuan Humas Bagai Mimpi di Siang...
Opini - 18 Mei 2024
Oleh: Yandra Mulyadi