Resiprositas Senyum di Jalan Rakik Kacang
*Lindo Karsyah
Manakala Tuan dan Puan punya waktu luang, melintasilah ke 'Jalan Rakik Kacang' Nagari Padang Laweh, Kecamatan Koto VII, Kabupaten Sijunjung. Sekitar 3 kilometer dari ibu kota kabupaten arah Tanjung Ampalu, ada SDN 20 Padang Laweh sebelah kanan. Pas di sampingnya, ada simpang, kelok lah ke sana.
Inilah jalan tua. Jalan yang ada sebelum republik Indonesia berdiri. Bagi orang Koto waktu itu, pusat nagari Padang Laweh, ini jalan ke hutan. Di sepanjang jalan, ada banyak pohon durian, karet, mangga, mangis, dan lain sebagainya. Juga banyak harimaunya. Tapi orang Padang Laweh berpantang berurusuan dengan kucing besar itu, lantaran konon kabarnya nenek moyang Orang Padang Laweh buat perjanjian saling melindungi.
Dulu jalan setapak, kini sudah lebar 3 meter. Namun masih jalan tanah merah dengan sisa baluri kerikil. Karena tanah merahnya lebih menonjol, ia mirip rakik kacang. Tepung gorengan lebih banyak ketimbang kacang. Batu kerikil timbunan tidak seberapa, sehingga pada beberapa titik ada kubangan. Air merah tanah tergenang dengan kedalaman lumayan. Kadang datar, namun yang ada di permukaan tanah lebih banyak tanah ketimbang batu. Saat itulah jalan ini seperti rakik kacang. Begitu beberapa orang menyebutnya.
Karena Topografi Kabupaten Sijunjung secara umum berbukit dan berlembah, jalan rakik kacang ini berada di pinggang dan puncak bukit. Di samping kiri dan kanan, kebun masyarakat. Di bawah kebun ada bentangan sawah yang tidak terlalu luas. Sesudah sawah, ada bukit lagi. Begitu jamaknya pemandangan alam sepanjang jalan rakik kacang.
Sebagai pencinta alam, saya suka berjalan-jalan di sini. Ujung jalan rakik kacang adalah kumang patah, tak jauh benar dari Koto. Lantas apa yang menarik di jalan tempat lalu lalangnya orang Solok Baluka dan Bukik Bong serta Macang?
Yang menarik adalah motor dan pengendaranya. Kalau soal motor, kotor berlumpurnya seperti motor terabas walau jenis dan tipe motornya tidak sama. Karena yang dilewati tanah merah, lumpur yang lekat pun warna itu pula.
Tatkala melintasi jalan rakik kacang, bunyi motor meraung-raung. Tergelincir ke kiri dan ke kanan. Pengendara itu menurunkan kedua kakinya agar tidak jatuh. Istrinya atau penumpang yang berboncengan, mesti turun dulu. Setelah pendakian terjal nan licin sukses dilalui, baru naik. Ketika jumpa lagi dengan medan jalan yang aduhai buruknya itu, hal yang sama mereka lakukan lagi. Wajah mereka penuh kesusahan dan kepayahan.
Begitu perasaian mereka. Bilamana dilihat sepintas, seperti olah raga orang tajir setiap akhir pekan. Mereka bukan olah raga tapi menderita di Jalan Rakik Kacang. Deritanya seperti raungan motor tua yang mendaki itu. Orang berada menyukai medan berat, malah lebih parah dari itu yang dicari. Mereka suka berlelah-lelah dan berlumpur untuk kepuasan batin, tapi warga di sini tampaknya lelah dengan keadaan. Ini bukan ironis, tapi nasib yang belum diikhtiarkan untuk diubah.
Berikutnya, senyum pengendara. Selelah-lelah mereka pulang dari sawah dan ladang, ketika berpapasan, mereka tersenyum. Walau sekadar tersuging sedikit saja. Tapi lebih banyak yang tidak tersenyum, walau saya sudah jauh-jauh dari mereka sudah tersenyum.
Tapi sebagai penganut resiprositas, saya tidak putus asa untuk tersenyum. Terus tersenyum, kini mereka tidak tersenyum, namun lambat laun, mereka akan tersenyum dengan hati mereka. Bukankah sangat enak bila kita menerima senyum? Dan bukankah jauh lebih enak bila kita memberikan senyum?
Namun di balik itu, terlintas dalam pikiran; dahulu masyarakat kami orang yang tersohor suka senyum, ramah dan terbuka. Namun kenapa sifat elok ini terkikis seiring kian buruknya jalan rakik kacang? Adakah hubungannya dengan politik pembangunan yang melanda negeri? Sehingga mereka apatis dan cuek bebek?
*Komisioner KPU Sijunjung
Opini Terkait
Kemenangan Kebenaran (Pelajaran Moral dari Kasus Dr Khairul...
Opini - 16 November 2024
Oleh: Zaiyardam Zubir
Tanpa Perencanaan Matang, Tujuan Humas Bagai Mimpi di Siang...
Opini - 18 Mei 2024
Oleh: Yandra Mulyadi