Dajjal-nya Riza Khalid dan Ekonomi Minang ke Masa Depan
*Mochtar Naim
Kekesalan Riza Khalid dengan Gubernur Sumbar, yang menghalangi rencananya membangun Perkebunan Sawit di Sumbar, lalu menyatakan Sumbar adalah negeri Dajjal, seluruh rakyat Sumbar yang di ranah dan di rantau spontan pada meronta dan menyatakan kemarahan mereka kepada Riza Khalid secara terbuka melalui media massa. Riza dikatakan sebagai tidak etis, tidak sopan dan bahkan kurang ajar dengan memakai kata kasar Dajjal itu.
Padahal, semua orang tahu bahwa selain di Papua dan beberapa daerah lainnya, di Sumbar di ranah Minang pun tanah itu pada dasarnya adalah tanah ulayat adat milik bersama secara turun temurun. Pemerintah saja tidak bisa mengambilnya tanpa seizin kaum atau nagari yang memilikinya.
Makanya pemakaian tanah ulayat oleh perusahaan ataupun per orangan untuk tujuan komersial diatur dengan sistem HGU (Hak Guna Usaha) untuk suatu batas waktu tertentu, misalnya 30 tahun, dan bisa diperbaharui.
Namun, kenyataan yang bersua, minimal sejak PRRI ke mari, 50an tahun sudah, bisa jauh panggang dari api. Sejak kebun karet rakyat berubah menjadi kebun sawit, praktis semuanya sekarang, dalam jumlah ratusan ribu hektar di Sumbar saja, dan jutaan hektar di seluruh daerah di Indonesia, telah menjadi kebun sawit milik para konglomerat yang tumbuh dan berkembangnya dibek-ap oleh para pejabat lupa-diri yang mendapatkan sagu-hati dari para konglomerat itu. Konglomerat yang menguasai perkebunan itu tidak hanya yang dari Indonesia saja, tapi juga dari Singapura, Malaysia, Thailand dan dari negeri asal mereka sendiri di Timur Jauh.
Di Sumbar dan di manapun, rakyat yang tadinya pemilik tanah ulayat, yang sekarang tanah itu telah menjadi perkebunan sawit, dsb, rata-rata telah menjadi buruh alias kuli di bekas tanahnya itu, yang bekerja di kebun terbuka, yang kalau hujan kehujanan, kalau panas kepanasan. Pergi dan pulangnya diantar dengan truk-truk perusahaan yang tegak berdiri bersusun bahu, laki-laki dan perempuan, terhoyong-hoyong bersenggolan di atas truk karena jalannya yang asalan dan bergelombang. Bagaimana dahulu di zaman penjajahan, begitu pula laiknya mereka sekarang ini.
Yang konyol juga, tidak sedikit pula dari para ninik-mamak pemangku adat sendiri yang turut pula tergiur mengambil manfaat dengan diserahkannya tanah ulayat kaum dan nagari itu kepada para konglomerat melalui proses HGU itu. Apalagi daerah-daerah yang menjadi daerah perkebunan sawit itu kebanyakan berada di lingkaran luar Sumbar, di Pasaman, Darmasraya, Solok Selatan dan Pesisir Selatan yang adatnya berpenghulu beraja-raja, yang tanah ulayat juga diatur oleh penguasa rantau adat itu.
Saya berpendapat, mumpung Riza Khalid membenturkan persoalannya dengan teriakan Dajjal itu, kenapa kita tidak dudukkan saja sekali mengenai tanah ulayat kaum dan nagari ini, sehingga duduk dan tuntas sekali permasalahannya. Pertama, tanah ulayat yang telah menjadi obyek perkebunan ini yang rata-rata dikuasai oleh para konglomerat yang dibek-ap oleh para pejabat itu.
Tanpa harus merubah sistem HGU yang sudah berlaku itu, mana-mana yang sudah habis masa berlakunya harus kembali dan dikembalikan menjadi milik rakyat dengan segala kekayaan yang ada di dalamnya. Rakyat dari nagari bersangkutan bisa menentukan pilihan, mau meneruskan dengan mengelolanya secara Koperasi Syariah Nagari (KSN), atau melanjutkan kerjasama dengan pengusaha semula dengan sistem bagi hasil yang saling menguntungkan.
Khusus mengenai fabrik pengolahan sawit yang ada di atasnya, juga berlaku pilihan yang sama: dilanjutkan pengelolaannya oleh rakyat dengan sistem KSN yang sama atau kerjasama bagi-hasil dengan pengelola semula.
Kedua, tanah ulayat nagari yang masih tersisa dan tersedia, di seluruh Sumbar, dijadikan sebagai lahan untuk mengembangkan usaha anak nagari dalam bentuk usaha KSN yang cocok dan serasi dengan wujud dan potensi lahannya, baik untuk peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian, perhutanan, dsb. Dengan itu kita merombak sistem perekonomian anak nagari di Sumbar, dari cara sederhana sendiri-sendiri seperti selama ini ke cara bersama dengan bentuk usaha KSN.
Untuk itu pemerintah di Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Nagari, dengan keperan-sertaan dari sistem perbankan yang ada, baik milik pemerintah maupun swasta, membangun sistem ekonomi kerakyatan berbentuk KSN itu seperti yang diidamkan oleh Pancasila dan UUD1945, khususnya Pasal 33 itu.
*Sosiolog
Opini Terkait
Kemenangan Kebenaran (Pelajaran Moral dari Kasus Dr Khairul...
Opini - 16 November 2024
Oleh: Zaiyardam Zubir
Tanpa Perencanaan Matang, Tujuan Humas Bagai Mimpi di Siang...
Opini - 18 Mei 2024
Oleh: Yandra Mulyadi