Fenomena Politik Keluarga dan Tantangan Demokrasi Kita
*Dr Hary Efendi Iskandar
Fenomena ini memang menjadi hal lumrah terjadi dalam dunia politik nasional maupun lokal di Indonesia khususnya, dan di pentas politik global pada umumnya (Buehler, 2013).
Apalagi dalam konteks demokrasi prosedural yang sedang berlangsung saat ini di Indonesia. Dalam konteks ini, maka praktik politik dinasti ataupun politik keluarga, tidak sesuatu yang dilarang sehingga tidak ada ketentuan yang dilanggar.
Bahkan mereka yang terpilih tersebut memiliki legitimasi politik yang kuat, karena dipilih dengan mekanisme suara terbanyak.
Namun demikian praktik politik tersebut pada suatu negara dapat diyakini bahwa fenomena ini menjadi indikasi bahwa demokrasi di suatu negara tersebut tidak berjalan dengan baik. (Buehler, 2013).
Bila sebelumnya Aspinal dan As’ad (2016) menilai bahwa politik keluarga di berbagai negara di belahan dunia, termasuk di Indonesia tidak akan menjadi tantangan yang serius sehingga ancaman politik keluarga terhadap kinerja demokrasi tidak terlalu jelas, sepertinya penilaian ini menjadi lemah.
Berangkat pada kasus relatif banyak yang berhasil dari pada yang tidak berhasil, sepertinya penilaian bahwa politik keluarga akan mengalami kegagalan, karena “persaingan sumber otoritas politik yang hebat” agaknya mulai terpatahkan.
Dengan begitu para analis politik, termasuk pegiat demokrasi harus berpikir ekstra untuk memutar akal agar arus politik keluarga tidak semakin berkembang-biak sehingga dapat ‘merapuhkan’ dan bahkan membunuh ‘demokrasi sejati’ yang sedang dalam proses menemukan bentuknya di Indonesia.
Dari beberapa kasus di atas, agaknya politik keluarga tersebut semakin berkembang biak di masa yang akan datang.
Bila itu benar terjadi, maka dapat dipastikan bahwa esensi demokrasi yang didasarkan pada nilai kebebasan (freedom), kemandirian (independent), kesetaraan (equality), keadilan (justice), keterbukaan (transparancy), toleransi (tolerance), dan bertanggungjawab (responsibility) perlahan akan jadi barang mahal.
Nilai-nilai utama ini akan semakin terpinggirkan, sehingga “demokrasi” hanya sekadar pemanis saja. Nilai utama yang akan menentukan adalah “kedermawanan semu” (pseudo generosity), otoritas dan pengaruh (authority and influence), sehingga kekuasaan akan berbutar pada sekelompok orang saja (oligarchie).
Distribusi kekuasaan akhirnya bergerak pada kelompok elite yang memiliki modal ekonomi (economic capital) yang besar, dan kekuasaan yang punya pengaruh sehingga sulit didapatkan oleh anggota masyarakat yang hanya memiliki modal sosial, modal budaya, modal politik dan lain-lain.
*Ketua Pusat Studi Humaniora Universitas Andalas
Opini Terkait
Kemenangan Kebenaran (Pelajaran Moral dari Kasus Dr Khairul...
Opini - 16 November 2024
Oleh: Zaiyardam Zubir
Tanpa Perencanaan Matang, Tujuan Humas Bagai Mimpi di Siang...
Opini - 18 Mei 2024
Oleh: Yandra Mulyadi