Pers Sedang Dikebiri
*Wina Armada Sukardi
Ini masuk alasan kedua. Pola itu selain lebih liberal dari liberalisme, juga menjadikan konfigurasi kehadiran pers tidak lagi berwarna.
Karya pers atau karya jurnalistik yang pendapat nya berlain lainan , karena dinilai “tidak berkualitas” sudah “dibunuh” lebih dahulu lewat Perpers. Maklumlah harus bayar ke perusahaan platform digital.
Dalam keadaan jumlah pers cuma sedikit, pers justeru akan lebih mudah dikontrol negara atau pemerintah.
Pada titik ini kehadiran pers digital yang harusnya juga selaras dengan pertumbuhan demokrasi, malah mematikan demokrasi.
Sadar atau tidak, mungkin ini mendekatkan kita ke doktrin komunis China.
Biarkanlah semua warna bunga (teratai) tumbuh, tapi nanti hanya bunga (teratai) hitam saja yang dibiarkan bertahan berkembang. Lainnya dibabat dan dikondisikan tidak tumbuh.
Setelah membiarkan banyak pers digital lahir, Perpers berlaku sebagai mata pisau yang “memotong” sebagian besar pers digital dan membiarkan segelintir yang hidup, sehingga kelak mudah dikendalikan.
Dari sini nyata terlihat, rancangan Perpers yang amat bertentangan dengan UU Pers yang membangun dunia jurnalistik yang independen, bermutu, mandiri dan swaregulasi. Itulah amanah reformasi. Amanat untuk menjadikan Indonesia lebih demokrasi.
Kalau kemudian rancangan Perpers disahkan, isinya boleh disebut menghianati UU Pers, karena anti demokrasi.
Ketimbang mengurusi pers, sebaiknya pemerintah cq Kominfo lebih baik mengurus hal yang memerlukan fokus dan perhatian.
Misalnya, coba agar pembangunan BTS benar-benar terwujud tanpa korupsi sehingga seluruh desa benar-benar dapat menikmati internet. Bukan malah “cawe-cawe“ urusan pers yang jadi tanggung jawab pers.
*Pakar Hukum dan Etika Pers
Opini Terkait
Kemenangan Kebenaran (Pelajaran Moral dari Kasus Dr Khairul...
Opini - 16 November 2024
Oleh: Zaiyardam Zubir
Tanpa Perencanaan Matang, Tujuan Humas Bagai Mimpi di Siang...
Opini - 18 Mei 2024
Oleh: Yandra Mulyadi