Waspadai Kebocoran Privasi dalam Dunia Digital
*Yamsyina Hawnan
Di dalam ruang digital ini kita mengenal jejak digital. Tidak seperti jejak di dunia nyata yang kasat mata apabila kita menjejak di permukaan lantai, ruang digital memiliki algoritma yang berbeda sehingga kita mengenal apabila suatu informasi telah masuk ke dalam ruangan tersebut maka akan membutuhkan waktu yang lama dan kerja yang ekstra untuk menghilangkannya sempurna dari ruang digital.
Jejak digital yang hampir permanen ini tentu menjadi ancaman baru bagi penggunanya, bahwa apapun yang telah diunggah, dimasukkan ke dalam internet akan segera tersebar dan sekalipun sudah kita hapus dari domain asal, informasi atau data tersebut akan tetap melekat di perangkat orang lain dan kemudian seakan mewabah di setiap perangkat pengguna di penjuru dunia. Menyebabkan privasi seseorang dapat terancam.
Kita tentu tidak asing lagi dengan kata privasi. Terutama dalam era digital dan segala kebebasannya, menyebabkan adanya kemungkinan data pribadi kita dapat dibocorkan. Batas serta ruang lingkup privasi pun menjadi semakin luas, beriringan dengan mudahnya kriminalitas dari kebocoran data tersebut.
Berdasarkan sumber dari Federal Trade Commission (FTC) di Amerika Serikat, pengadilan disana telah menuntut dua perusahaan besar, Facebook, Inc dan Google, LCC atas dasar pelanggaran privasi dengan jumlah yang fantastis, tidak kurang dari 160 Miliar, bahkan Facebook, Inc sampai dijatuhkan denda sejumlah 5 miliar.
Ini disebut-sebut sebagai denda mengenai pelanggaran privasi konsumen yang tidak pernah didapatkan oleh perusahaan manapun dan mengutip pernyataan dari sumber yang sama, dua puluh kali lebih besar dari hukuman privasi atau keamanan data di negara manapun.
Di Indonesia sendiri pun, isu mengenai privasi juga memanas. Terutama dengan dikeluarkannya aturan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) yang mana mewajibkan penyelenggara sistem informasi (PSE) ruang lingkup privat untuk mendaftarkan diri. Namun hal ini justru berpotensi mengancam kerahasiaan data pengguna dan privasinya.
Mengutip dari The Conversation yang mewawancarai seorang pakar hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Hemi Lavour Febrinandez menyatakan bahwa PSE ini akan jadi jalan awal bagi pemerintah dalam mengatur lajur lalu lintas ruang digital.
Dari sudut pandang pengguna, banyak aturan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang masih mengambang, tidak ada tindak lanjut ataupun pasal-pasal yang melindungi Pasal 3 Ayat (4) Permenkominfo No 5 Tahun 2020 yang memerintahkan PSE menjaga dan memberi perlindungan kepada data pribadi pengguna sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Tentunya, meninggalkan tanda tanya karena tidak ada pasal yang menjelaskan tata cara tersebut secara jelas dalam undang-undang, meninggalkan pasal 3 ayat (4) tersebut dalam kerancuan serta membuat posisinya di ujung tanduk.
Pemerintah pun, memiliki kecenderungan untuk memodarisasi konten yang dapat dilihat oleh warga wilayah Indonesia, menunjukkan adanya campur tangan pemerintah dalam membentuk hegemoni pendapat.
Dalam jurnalisme pun, kerahasiaan adalah salah satu etika jurnalistik. Jurnalis dianggap mengotori namanya sebagai pewarta apabila ia melanggar kerahasiaan narasumbernya. Hak publik dalam mengetahui suatu informasi harus diimbangi dengan aspek moralitas yang balance sehingga tidak akan ada penyalahgunaan data nantinya.
*Mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
Opini Terkait
Kemenangan Kebenaran (Pelajaran Moral dari Kasus Dr Khairul...
Opini - 16 November 2024
Oleh: Zaiyardam Zubir
Tanpa Perencanaan Matang, Tujuan Humas Bagai Mimpi di Siang...
Opini - 18 Mei 2024
Oleh: Yandra Mulyadi