Salingka Maninjau, Bung Hatta dan Literasi Ranah di Hari Buku
*Ilhamsyah Mirman
Perjalanan melenakan ke Sungai Batang, Maninjau dengan keindahan alam, kekayaan intelektual dan kontribusi tokoh nasionalnya. Siapa yang tidak kenal dengan permadani biru berselimut gumpalan putih awan, kelok mengular 44 tikung, jejeran cagar budaya dan rumah gonjong berabad usia. Semua seakan di sesakkan pada satu wilayah indah. Mungkin karena kenikmatan yang diberikan itu pulalah yang menuntut para penghuninya membayar dengan capaian monumental, terkhusus dalam dunia pemikiran dan literasi intelektual.
Siapa yang tidak kenal Buya Hamka, M. Natsir, Rasuna Said, Nur Sutan Iskandar, atau generasi berikutnya seperti Bachtiar Chamsyah, singa parlemen Arteria Dahlan, serta yang teranyar Sang Negeri 5 Menara Ahmad Fuady. Tak ada tempat yang tidak diisi oleh putera Maninjau di Republik ini.
Tiga dari mereka adalah jago literasi yang diakui pada zamannya. Nur Sutan Iskandar, kelahiran 3 November 1893 'Sang Hulubalang Raja', penulis paling produktif di zaman Balai Pustaka. Buya Hamka, Sastrawan, Sejarawan, Politikus & Ulama otodidak kelahiran 17 Februari 1908. Serta generasi terkini, penulis trilogi Ahmad Fuady. Mereka bukan hanya menulis, bahkan menghasilkan karya monumental.
Ditarik lebih luas lagi, bagaimana Bung Hatta, Tan Malaka & Muhamad Yamin yang identik dengan pemikiran dan akrab literasi, sehingga memiliki keluasan pengetahun yang membuat mereka sejajar sejawatnya dari mancanegara. Konsisten sejak remaja hingga akhir hayat dengan menjadikan menulis sebagai salah satu jalan pengabdian dalam perjuangan. Fenomena 'buku adalah isteri pertama' bagi Sang Proklamator, termasuk pernyataannya, 'aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas', memperlihatkan betapa semangat literasi dalam bentuk paling dasar telah mendarah daging didalam diri para pendahulu sepanjang hidupnya. Dibuktikan dengan karya nyata menghasilkan buku babon.
Hari Buku Nasional
Semangat literasi yang sudah terbangun dan mentradisi di Maninjau dan ranah Minang dalam landscape ke Indonesiaan belakangan kian redup. Saat dicanangkan Hari Buku Nasional 17 Mei 2002 tingkat kemampuan membaca pendudk berusia 15 tahun ke atas 87,9 persen. Sementara Malaysia mencapai 88,7 persen dan Thailand 92,6 persen. Artinya pada masa itu masyarakat Indonesia masih banyak yang tidak bisa membaca.
Tahun 2016, The Central Connecticut State University melakukan "The World's Most Literature Nation" dengan hasil, dari 61 negara, Indonesia menduduki peringkat ke 60, 'unggul' dari sang jurukunci negara pedalaman di Afrika, Botswana. 'Prestasi' yang terkonfirmasi dengan realita keseharian.
Sementara, dari segi jumlah, produksi buku Indonesia pada tahun 2002 rata-rata 18.000 judul, sangat jauh dengan tingkat produksi buku di Tiongkok yang mencapai 140.000 judul buku setiap tahun. Apa mungkin minimnya buku yang dihasilkan karena frustasi yang melanda para insan perbukuan. Tergambar salah satunya di tayangan ILC yang disampaikan sejarawan Hasril Chaniago tentang dukungan negara asing dalam penyusunan sebuah buku yang mencapai 5 milyar, sementara 'proyek' yang sama dari Pemda Sumbar bernilai 25 juta. Bak langit dan bumi perbedaannya. Keadaan yang tentunya membuat insan perbukuan meringis.
Gambaran Saat Ini
Era milenial membawa dampak bagi dunia literasi. Banyak platform dan situs yang menyediakan buku dalam bentuk digital secara gratis. Aplikasi seperti wattpad sejauh ini cukup berperan menumbuhkan minat baca. Penulis muda bermunculan dari keberadaan aplikasi tersebut. Hanya saja hal itu masih belum menjamin bahwa minat baca di Indonesia meningkat. Justeru sebaliknya. Kecanggihan teknologi yang seharusnya membawa dampak positif, malah menjadi bumerang. Sosial media dan game merajai perkembangan generasi saat ini. Anak balita sudah mengenal ponsel dan merengek jika tidak diberi. Sementara pada masa lampau sebelum teknologi secanggih sekarang, anak usia tersebut sudah belajar membaca.
Faktor lain adalah stigma masyarakat yang menganggap negatif orang yang suka membaca. Pernah dengar istilah 'kutu buku'? Sudah bukan rahasia umum lagi anggapan terhadap si kutu buku adalah buruk. Para kutu buku dianggap kolot dan 'kuper'. Sementara di sisi lain kecenderungan anak Indonesia ingin dianggap keren. Sehingga anggapan buruk tentang kutu buku menjadikan generasi muda enggan menyentuh buku.
*Founder Ranah Rantau Circle (RRC) Institute
Opini Terkait
Tanpa Perencanaan Matang, Tujuan Humas Bagai Mimpi di Siang...
Opini - 18 Mei 2024
Oleh: Yandra Mulyadi