Biarkan Krisis Mengantarmu jadi Pemimpin
*Defri Hanas
Menjadi pemimpin yang kuat tidak selalu tahu bagaimana mengalahkan lawan dengan senjata atau perperangan, namun banyak pemimpin yang kuat itu berhasil mengelola lawan dengan diplomasi.
Sebagai mana Rasulullah bisa menaklukkan Kota Makkah dengan Fathu Makkah. Melihat kekuatan muslimin yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar, maka Abu Sofyan sebagai pemimpin kaun quraisy di makkah bersyahadah, bukan karena iman yang muncul namun karena ketakutan yang telah menimpa dirinya.
Abbas ra mengatakan, "Wahai Rasulullah saw, sesungguhnya Abu Sofyan adalah orang yang menyukai kebanggaan atas dirinya."
Nabi saw menjawab: "Ya, barangsiapa yang masuk rumah Abu Sofyan, ia selamat, barangsiapa yang menutup pintu rumahnya ia selamat, dan barangsiapa yang masuk ke dalam Masjidil Haram ia selamat."
Begitulah Rasulullah menghormati lawan, bahkan diberikan pernghargaan sesuai dengan kesukaannya. Rasulullah membuktikan bahwa beliau adalah pemimpin sejati, tahu bagaimana bersiasat dalam memanangkan dakwah islam, rahmatan lil 'alalmiin.
Pemimpin tidak boleh takut kehilangan, kehilangan apapun itu. Jabatan dan posisi, harga diri dan kemewahan, pujian dan sanjungan, harta dan kekayaan bukanlah hak mutlak seorang pemimpin.
Bila ada rasa memiliki itu semua, maka seseorang tidak akan bisa melakukan banyak hal, karena dia terikat dengan apa yang ia inginkan dan senangi. Maka bagi setiap pemimpin lepaskan semua 'kemewahan' itu, jadilah pemimpin yang memahami bahwa jabatan ini adalah amanah, serta peluang melakukan kebajikan yang lebih banyak dari orang lain.
Tugas kita adalah melakukan tugas sebaik-baiknya, biarlah Allah menentukan segalanya untuk kita. Dengan keihklasan, kita akan menjadi pangawal fikroh dan aqidah bukan pengawal kepentingan dan keberuntungan (Mustafa Masyhur).
Di era sekarang, kepemimpinan meminta kemampuan lebih dalam mengelola masalah. Tantangan kenegaraan saat ini membutuhkan pemimpin yang cerdas dan negarawan. Tidak pragmatis, mementingkan golongan dan partisannya, mau mewakafkan dirinya untuk kepentingan bangsa, tegas dan berwibawa, berani memutuskan saat-saat dibutuhkan.
Saya berharap lahir seorang pemimpin bangsa disaat Negara dipenuhi ketidakadilan, karena saya meyakini krisis ini akan melahirkan pemimpinan yang tangguh.
Saya ingat kisah seorang The Swordless Samurai, Toyotomi Hideyoshi, lahir bukan dari keluarga bangsawan pada zaman kegelapan pada abad 16, seorang yang bertubuh pendek, tidak atletis, tidak berpendidikan dan berwajah kurang menarik. Daun telinga yang besar, mata yang dalam, tubuh kecil, dan wajah yang merah serta keriput, membuatnya tampak seperti kera, sehingga orang menjulukinya 'monyet' seumur hidupnya.
*Pimpinan Cabang Dompeet Dhuafa Singgalang
Opini Terkait
Kemenangan Kebenaran (Pelajaran Moral dari Kasus Dr Khairul...
Opini - 16 November 2024
Oleh: Zaiyardam Zubir
Tanpa Perencanaan Matang, Tujuan Humas Bagai Mimpi di Siang...
Opini - 18 Mei 2024
Oleh: Yandra Mulyadi