Terancam Gerakan LGBT, Mau Apa Kita?
*Emeraldi Chatra
Kita sadar, mereka dijerumuskan dan sengaja dijadikan tidak normal. Kita juga ingin mereka berubah, kembali menjadi normal. Sayangnya, itu tidak mudah. Mereka tidak hanya mengalami manipulasi makna organ genital, tapi juga terindoktrinasi dan dicekoki dengan argumen-argumen palsu. Itulah sebabnya ketika kita minta mereka berubah mereka akan mengeluarkan retorika yang sama, karena sudah diajarkan demikian.
Lantas apakah akan berdiam diri membiarkan saja mereka seperti itu?
Tentu saja tidak boleh berdiam diri. Ketika kita berdiam diri para agen-agen LGBT justru makin bersemangat mencari mangsa baru. Mereka punya target dalam bekerja. Anggota kelompok Homosexuals of the United States (HOTUS) diberi kewajiban menggarap tiga orang normal untuk jadi homo guna mencapai target tahunan mereka.
HOTUS juga menargetkan dapat membentuk anggota 11% dari populasi AS. Kelompok homolesbi di Indonesia tentu tidak akan berbeda dengan rekannya di AS sana, karena gerakan LGBT adalah gerakan internasional yang punya satu tujuan, yaitu menguasi dunia melalui kaum homolesbi.
Tidak sedikit beban kerja kita agar kelak kita tidak punya gubernur homo, walikota lesbi, anggota DPR biseks, atau -- bukan tidak mungkin -- punya presiden homo. Semua itu bukan kabar pertakut, tapi sebuah prediksi logis bila jumlah mereka bertambah terus dan berhasil menduduki lapisan menengah dalam strata sosial.
Tidak butuh waktu panjang untuk sampai ke kondisi seperti itu. Mungkin 20 atau 30 tahun lagi sudah terjadi bahkan mungkin bisa lebih cepat. Jangan lupa, kita pernah punya mentri homo, namanya Jop Ave.
Ada sejumlah langkah yang ingin saya tawarkan agar kita bisa menghadang gerakan LGBT.
Pertama, kita harus menjaga iklim sosial yang kondusif dengan tidak melakukan tindakan berlebihan terhadap mereka yang diketahui homo atau lesbi. Tindakan kekerasan secara fisik dan sosial sangat tidak dianjurkan karena akan membuat hati mereka mengeras mempertahankan identitas.
Kita hargai argumentasi HAM mereka untuk punya identitas, tapi kita harus menolak tegas kalau HAM mereka maknai sebagai "hak untuk menghomo dan melesbikan orang". Tidak ada HAM untuk kebebasan membuat orang lain jadi tidak normal.
Kedua, kita harus bekerja keras memberikan pembelajaran kepada para orang tua yang anaknya masih normal, baik dengan komunikasi langsung maupun bermedia. Media-media apa saja, baik media massa konvensional maupun media sosial dapat kita gunakan menyebarkan anjuran kepada para orang tua agar lebih memperhatikan anak mereka. Kerjasama dengan media dengan sendirinya sangat penting.
*Akademisi Unand
Opini Terkait
Kemenangan Kebenaran (Pelajaran Moral dari Kasus Dr Khairul...
Opini - 16 November 2024
Oleh: Zaiyardam Zubir
Tanpa Perencanaan Matang, Tujuan Humas Bagai Mimpi di Siang...
Opini - 18 Mei 2024
Oleh: Yandra Mulyadi