Pers Ujung Tombak Keterbukaan Informasi Publik
*Adrian Tuswandi
Puncak Peringatan Hari Pers Nasional yang digelar di Lombok Tengah, tepatnya di Kawasan Ekonomi Khusus Mandalaika Resort, Nusa Tenggara Barat, 9 Februari 2016 dihadiri langsung Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.
Sebuah catatan dari peringatan itu, Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat berkesempatan hadir memenuhi undangan PWI Cabang Sumbar, dan menyampaikan makalah tentang peran pers nasional dalam keterbukaan informasi publik.
Ternyata, pers berperan sangat penting dan urgen. Boleh dikatakan, pers adalah ujung tombak keterbukaan informasi publik, meski undang-undang yang mengatur berbeda yakni UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Namun, muaranya adalah satu yakni bagaimana ketertutupan di era sebelum ini jadi sumir.
Pers merupakan profesi yang terdepan membuka kotak pandora ketertutupan informasi publik di badan publik, insan jurnalis merupakan corong keterbukaan informasi publik, lewat karya jurnalistik yang sarat keberimbangan dan dinaungi kode etik jurnalis.
Pers semakin berani mengatakan sesuatu kebijakan badan publik yang salah atau tidak pro rakyat. Pers tidak pernah takut menyuarakan dan menyiarkan sebuah pemberitaan yang jelas merusak aspirasi rakyat, pers adalah insan pejuang demokrasi dan menjadi pilar ke empat bagi negara yang mencapkan diri sebagai negara demokrasi.
Dan semakin bagak jurnalis di lapangan dalam mengejar perimbangan sebuah karya jurnalistik dengan adanya UU Keterbukaan Informasi Publik, karena dengan dasar undang-undang ini pejabat publik menjadi gamang untuk menutupi informasi publik jika ada, maka pejabat itu akan dicap sebagai sosok pejabat yang tidak transparan bahkan acap dituding pembohongan publik jika statement di media masa tidak sesuai dengan realita di lapangan.
Padahal mekanisme penerapan dua UU ini berbeda satu mengatur kerja pers dengan muaranya Dewan Pers satunya lagi soal keterbukaan informasi publik yang ujungnya adalah sengketa informasi publik di Komisi Informasi. Meski berbeda, tapi dua UU ini bak aur dengan tebing. Dia saling menyangga, memperkokoh komitmen pemimpin nasional yakni menjadikan Indonesia sebagai Negara Demokrasi terbesar di dunia.
Pers dalam berkarya tentu butuh informasi cepat untuk disajikan ke masyarakat dalam semangat chek and balance sebuah karya jurnalistik, sedangkan keterbukaan informasi menuju sengketa butuh beberapa tahapan dan waktu yakni, masyarakat harus melewati beberapa tahapan mulai dari permohonan informasi ke pejabat pengelola informasi dan dokumentasi di badan publik lalu mekanisme keberatan kepada atasan pejabat bersangkutan.
Jika tidak diberikan jawaban atau tidak puas dengan jawaban baru masuk ke tahapan sengketa informasi yang UU 14 Tahun 2008 memberikan kewenangan kepada Komisi Informasi menyelesaiakannya lewat sidang ajudikasi non litigasi dan mediasi. Itu dua pembeda penerapan dua UU di atas.
Namun terlepas dari perbedaan tadi yang jelas roh dari dua undang-undang yakni UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik sebenarnya satu yakni keterbukaan informasi adalah keharus-utamaan bagi Negara yang mencita-citakan diri menjadi negara demokrasi. Lihat saja bagimana Presiden Republik Indonesia di berbagai kesempatan selalu memberikan keterangan publik kepada wartawan baik pada moment acara di istana maupun di luar Istana Negara.
Presiden Jokowi sangat mahfum betul, bagaimana peranan pers dalam menyebarkan informasi ke masyarakat luas, bahkan soal pembangunan kereta cepat Presiden tidak merahasiakan ke masyarakat, malah dengan gamblang presiden menyediakaan waktu khusus kepada awak media untuk menerangkan pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung itu, dan banyak soal kenegaraan dan kemasyarakatan yang disampaikan presiden selalu kepada wartawan pertama sekali.
*Komisioner Komisi Informasi Sumbar
Opini Terkait
Kemenangan Kebenaran (Pelajaran Moral dari Kasus Dr Khairul...
Opini - 16 November 2024
Oleh: Zaiyardam Zubir