Rahasia Medis di Era Disruption
*Dr dr Rika Susanti SpFM (K)
Kembali ke masalah rahasia medis menurut aspek etika dan medikolegalnya, apakah terdapat kondisi yang memperbolehkan rahasia medis dibuka?
Jika kita lihat dari sisi legal, maka rahasia medis dapat dibuka pada beberapa keadaan. Menurut PMK No 36 tahun 2012 tentang rahasia kedokteran terdapat beberapa kondisi yang memperbolehkan dokter atau tenaga kesehatan untuk membuka rahasia kedokteran yaitu untuk kepentingan kesehatan pasien, dalam rangka penegakan hukum, atas permintaan pasien sendiri dan untuk kepentingan umum yang salah satunya adalah pada saat adanya ancaman wabah.
Bagaimanakah menurut aspek etika? Secara etika, pelayanan kedokteran ditujukan untuk kesejahteraan bersama atau bonum commune. Jika informasi yang didapatkan pada praktik kedokteran dapat mengganggu keadaan bonum commune tadi, maka rahasia medis boleh dibuka.
Pembukaan rahasia medis ini dapat dilakukan oleh Dokter Penanggungjawab Pelayanan (DPJP), Pimpinan Fasyankes bila DPJP tidak ada, ketua tim bila perawatan dilakukan oleh tim dan anggota tim bila ketua tim tidak ada kepada pihak yang berwenang menangani masalah kesehatan, dalam hal wabah COVID19 tentunya pihak tersebut adalah Dinas Kesehatan dan pihak terkait lainnya.
Maka jelas menurut etika dan hukum, rahasia medis pasien COVID19 dapat dibuka, namun untuk tidak dikonsumsi umum. Terkait kerahasiaan pasien COVID19 ini juga telah diatur oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melalui SK Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) nomor 015/PB/K.MKEK/03/2020 tentang fatwa etik kedokteran, kebijakan kesehatan dan penelitian dalam konteks pandemi COVID19 bahwa Identitas pasien atau orang dengan maupun tanpa gejala klinis dengan diagnosis positif COVID19 (kasus confirm) pada prinsipnya tetap harus dilindungi.
Dalam keadaan tertentu dapat dibuka sebatas inisial nama, jenis kelamin, status kesehatan singkat (meninggal/klinis kritis berat/sembuh), usia dan kronologi terbatas hanya yang relevan dengan penularan, misalnya penjabaran lokasi potensi penularan dengan maksud menjadi kewaspadaan publik dan penelusuran kontak (penyelidikan epidemiologis).
Adapun informasi klinis terperinci, penyakit penyerta dan tatalaksana sebaiknya tidak dibuka. Pengecualiaan hanya dapat dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk antara lain membuka nama pejabat publik dan nama tenaga medis dan nama tenaga kesehatan yang menjadi korban untuk kemudian diberikan penghargaan oleh dunia profesi kedokteran dan negara.
Pada akhirnya dapat penulis simpulkan bahwa ditinjau dari sisi etika dan hukum, dokter dan tenaga kesehatan berkewajiban untuk menyimpan rahasia pasien. Membuka rahasia medis merupakan salah satu bentuk pelanggaran hukum menurut Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi, yang pelakunya bisa dikenakan sanksi etik, sanksi disiplin dan sanksi hukum.
Ada situasi tertentu yang memperbolehkan dan mewajibkan dokter untuk membuka rahasia medis, seperti pada saat terjadinya wabah COVID19 yang mengancam kesehatan masyarakat dan yang paling penting diingat adalah tugas dokter untuk melindungi masyarakat kedudukannya lebih utama dibandingan perorangan.
Pembukaan rahasia medis harus dilaksanakan oleh petugas medis yang berwenang dan dibuka kepada instansi/orang yang berwenang pula, rahasia medis pasien tidak boleh disebarluaskan untuk konsumsi masyarakat, karena pada dasarnya rahasia medis adalah manifestasi bentuk kepercayaan pasien terhadap dokter, yang berasaskan prinsip etika confidentiality dan privacy. (*)
*Dekan FK Unand
Opini Terkait
Kemenangan Kebenaran (Pelajaran Moral dari Kasus Dr Khairul...
Opini - 16 November 2024
Oleh: Zaiyardam Zubir
Tanpa Perencanaan Matang, Tujuan Humas Bagai Mimpi di Siang...
Opini - 18 Mei 2024
Oleh: Yandra Mulyadi