Guru Besar IPB Dukung Penolakan Wako Padang Terhadap RUU PKS
VALORAnews - Penolakan keras Wali Kota Padang, Mahyeldi terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) beberapa waktu lalu terus berlanjut. Selasa (12/2/2019), seluruh elemen warga Kota Padang mendeklarasikan penolakan keras terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pada acara Seminar Bencana Sosial (Ancaman & Tantangan) di Ruang Bagindo Aziz Chan Balai Kota Padang Aia Pacah.
Seminar Bencana Sosial menghadirkan keynote speaker Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Euis Sunarti. Dikesempatan tersebut, Prof Euis menjelaskan, penolakan terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual atau mengubah menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual memiliki beberapa alasan yang sangat krusial.
Dimana, RUU P-KS tidak komprehensif karena tidak memuat sekaligus mengatur norma perilaku seksual. Masyarakat memandang penting pengaturan perilaku seksual bukan hanya pada penghapusan kekerasannya, namun juga meliputi normanya, yaitu larangan kejahatan seksual (perilaku seks menyimpang seperti zina, pelacuran, homo dan biseksual).
"Dalam RUU P-KS, yang diatur adalah larangan pemaksaannya (pelacuran, aborsi), mengabaikan pelacuran sebagai penyimpangan perilaku seks-nya. Demikian juga tidak memasukkan perilaku seks menyimpang lainnya," ungkap Prof Euis di depan peserta Seminar Bencana Sosial yang diikuti seluruh SKPD Pemko Padang, Akademisi, Bundo Kanduang, PKK, Dharma Wanita, LSM, OKP, mahasiswa dan pelajar Kota Padang.
Baca juga: Survei Voxpol Pilgub Sumbar 2024, Elektabilitas Mahyeldi-Vasko 70,3 Persen, Epyardi-Ekos 16,8 Persen
Dijelaskan, naskah akademik RUU P-KS sama sekali tidak mengakomodir kekerasan seksual terhadap laki-laki yang semakin marak dan menakutkan, yang sebagian besar terkait dengan kejahatan seks menyimpang. Oleh karenanya, tidak bisa dipisahkan antara pengaturan teknis perilaku seksual (kekerasannya) dengan normanya (larangan perilaku seks menyimpang).
"Sehingga, dipandang penting mengubah RUU P-KS dari Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi Penghapusan Kejahatan Seksual. RUU ini tidak memenuhi aspirasi masyarakat Indonesia, diduga karena pihak perumus Naskah Akademik dan draft RUU merupakan pihak yang tidak setuju adanya larangan zina dan L987," ujar Ketua Penggiat Keluarga Indonesia tersebut.
Dikatakan, pada naskah akademik dan RUU P-KS juga tidak memberi perhatian dan mengakomodir institusi keluarga di Indonesia yang hidup dengan nilai-nilai konvensional, menjadikan agama (khususnya agama Islam yang dianut mayoritas keluarga Indonesia) sebagai landasan kehidupan. Agama yang dianut keluarga dan masyarakat Indonesia sangat mencela perilaku seks menyimpang.
"Komponen pencegahan dalam RUU P-KS sangat sedikit dan tidak mengelaborasi faktor kekerasan dan penyimpangan seksual yang harus dicegah dan diantisipasi. Lagi-lagi, tidak menjadikan keluarga sebagai bagian penting," tuturnya.
Baca juga: Gubernur Lantik Hani Syopiar Rustam jadi Pjs Wali Kota Bukittinggi, Bertugas 2 Bulan
Prof Euis menambahkan, salah satu contoh definisi Kekerasan Seksual dalam RUU P-KS menjelaskan, kekerasan seksual merupakan yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan.
Penulis:
Editor:
Sumber:
Berita Terkait
- Debat Pamungkas Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Padang Berlangsung 3,5 Jam
- Reses Dapil Masa Sidang I ke Kecamatan Nanggalo, Evi Yandri Terima 30 Aspirasi Warga
- LUTD PLN, Wujudkan Mimpi Asmanidar 'Bertemu' Prabowo-Gibran
- Debat Pilkada Padang 2024, Cawakonya Lulusan Luar Negeri, Panelisnya Dosen dan Akuntan
- Kombes Ferry Harahap Wisuda Gelar Doktor Administrasi Publik, Ini Harapan Plt Gubernur Sumbar